🪐34. Ingin Dirayakan

188 32 30
                                    

Happy reading 🪐
-----

Aku lalu melepaskan pelukan Nio saat merasa sudah lebih tenang. Sungguh, aku tidak menyangka akan menangis karena Satur. "Sudah merasa lebih baik, Ve?" tanya Nio, aku hanya bisa mengangguk. Meski masih terisak, kurasa sekarang sudah jauh lebih baik.

"Kalau gitu, gue masuk dulu, ya, Nio. Makasih udah mau nenangin gue."

"Sama-sama. Istirahat yang cukup, ya, kalau ada apa-apa panggil saya saja."

"Pasti," jawabku singkat, lalu masuk kamar lewat jendela. Sedangkan Nio, ia langsung pergi. Aku sama sekali tidak menyangka akan begini jadinya. Kalau begini, aku jadi ragu ingin lanjut membantu Satur atau tidak. Pasalnya ia saja tidak yakin barang bukti ini milik Rana. Entahlah, semua kejadian ini membuatku pusing. Aku harus beristirahat sejenak agar bisa memutuskan langkah selanjutnya.

-----

06:25

Aku mengeluarkan motorku hendak berangkat sekolah. Seperti biasa, Satur terlihat sibuk mengikat tali sepatu di teras rumahnya. Aku ingin melihatnya lebih lama, namun saat Satur menoleh ke arahku, aku langsung mengalihkan pandangan.

Tanpa memperdulikannya, aku lanjut memanaskan motor. Tiba-tiba sebuah tangan dengan cepat memutar dan mengambil kunci motor yang menyebabkan mesin motorku jadi mati. Ternyata itu Satur.

"Maksud lo apaan?!" tanyaku sewot sambil menatapnya sinis.

"Harusnya saya yang tanya. Maksud kamu tadi malam apa? Apa saya salah berucap?" tanyanya. Dih, kenapa dia sampai sekarang tidak sadar juga.

"Minggir, gue mau berangkat!" Aku merebut kunci motor dengan kasar dari tangannya.

"Saya nebeng," ucapnya yang langsung naik ke jok belakang.

"Apa-apaan?! Nggak, ya. Nggak ada nebeng-nebeng. Pake sihir lo buat ngilang aja, sana."

Satur menyerah, dia turun dari motorku. Baguslah, biar dia sedikit memikirkan kesalahannya.

"Hati-hati, Ve." Tanpa memperdulikannya aku langsung menjalankan motorku. Dari spion terlihat Satur melambaikan tangannya padaku. Cih, bukannya mikir, malah sok manis. Basi!

Sampai disekolah, aku tidak mau menyapa Satur duluan, meski kami sering berpapasan. Tiba akhirnya sekarang adalah jam olahraga, semua teman-teman sekelasku sudah berkumpul di lapangan dan melakukan pemanasan. Pak Harsa bilang, selanjutnya kami harus berlari keliling lapangan.

Saat aku berlari bersama Anis, tiba-tiba saja Satur sudah berlari di sampingku. Ia menyamakan kecepatan larinya agar sama dengan langkahku. Anis yang melihat itu, ia lari lebih cepat meninggalkanku bersama Satur. Sial, mau lari lebih cepat pun aku sudah sangat lelah.

"Ve? Kamu masih ngambek?" tanyanya. Aku hanya diam dan masih lanjut berlari.

"Ve? Kamu dengar saya tidak?!" tanyanya lagi dengan nada yang sedikit dinaikkan.

"Lo pikir gue budek?"

"Kalau begitu, jawab saya."

"Nggak perlu ada yang dijawab. Silakan mikir sendiri," jawabku ketus lalu meninggalkannya dan mempercepat langkahku.

Before Sunset [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang