🪐40. Di Tengah Hujan

207 34 37
                                    

Happy reading 🪐-----

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading 🪐
-----

Satu bulan kemudian.

"Sat, lo bawa apaan, sih, berat banget buset," protesku saat Satur menyuruhku membawakan tasnya. Hari ini gantian Satur yang menyetir motor. Karena ia pun baru dibelikan motor baru oleh mamanya. Sebulan kemarin, ia berlatih mengendarai dan hari ini pertama kali ia memboncengku ke sekolah dengan motor barunya.

"Bukulah, nggak mungkin, kan, saya bawa batu," jawabnya. Loh, padahal hari ini sepertinya tidak terlalu banyak buku tebal yang dibawa.

"Lo ngelindur? Gue aja cuma bawa buku satu, tuh."

"Kamu yang ngelindur. Hari ini ada empat pelajaran, Ve. Buku cetaknya aja tebel-tebel, kok." Loh, emang iya? Bodo amatlah, lagian tinggal campur di satu buku saja apa susahnya.

Setelah sampai di sekolah, Satur memarkirkan motornya. Kami bersama-sama berjalan menuju kelas. Sejak kejadian sebulan yang lalu, Rana tidak pernah masuk sekolah lagi. Aku pun sempat mendatangi rumahnya, tetapi yang keluar hanyalah tulang kebunnya yang mengatakan jika Rana pindah jauh ke luar kota. Aku sedih karena belum bisa memastikan tentang jepit rambut itu. Nio pun begitu, sejak pamit malam itu sampai sekarang ia belum pernah menemuiku dan Satur lagi.

"Sat, Rana sekarang gimana, ya? Gue khawatir sama kondisi mental dia," ucapku membuka obrolan.

"Ya, nggak tahu. Mungkin sedang depresi. Kenapa kamu malah nanyain dia?"

"Gue cuma sedih aja belum bisa mastiin kalau jepit rambut itu punya dia," ucapku, membuat Satur berhenti berjalan. Kukira kenapa, ternyata terlihat dengan jelas Rana keluar dari ruang guru.

"Ve!" Ia memanggilku lalu segera berlari menuju kami. Aku dan Satur hanya melihat gadis itu dengan ekspresi heran. Ke mana ia sebulan lamanya?

"Ve, Sat, aku sekolah lagi di sini," ucapnya dengan senyuman ramah. Ada rasa lega saat aku mendengar itu, artinya aku bisa lanjut menyelidikinya.

"Selamat, ya, Ran. Soal masalah--"

"Udah, aku juga udah lupa, kok. Jangan dibahas." Seakan mengerti apa yang akan kuucapkan, Rana dengan cepat memotong ucapanku. Padahal aku ingin meminta maaf tentang papanya.

"Eh, ngomong-ngomong, kelas lo jadwal olahraganya besok, kan?" tanyaku.

"Iya, kenapa, Ve?" Jangan harap akan kuberi tahu. Besok saat Rana olahraga, aku akan membuktikan jika jepit rambut itu miliknya. Dengan cara ini, aku rasa ia tidak akan mengelak.

"Enggak apa-apa, sih. Gue sama Satur ke kelas duluan, ya, Ran." Aku kemudian menarik tangan Satur dan pergi meninggalkan Rana. Gadis itu hanya mengangguk dan tersenyum ramah seperti biasa.

"Maksud kamu apa, Ve, segala tanya-tanya tentang olahraga kelasnya dia. Udahlah, nggak usah terlalu dekat sama dia. Toh, nantinya kamu bakalan benci sama dia setelah tahu kalau dia yang mencuri batu permata hijau dari kastil Ellora."

Before Sunset [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang