🪐27. Tumpangan

229 54 93
                                    

Happy reading 🪐----

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading 🪐
----

Tunggu, bayangan itu seperti bukan hantu, setan, iblis, atau sejenisnya. Bayangan tadi sembunyi di balik pohon mangga. Di bawah, tepatnya dari balik pohon, aku melihat ujung sepatu. Sepatu hitam dengan ujung berwarna putih.

Kalau bukan hantu, apakah itu maling? Karena jiwa penasaranku yang sangat tinggi, aku segera mengambil sapu dan ingin mendekati orang di balik pohon itu. Aku mulai lewat dari pintu belakang, karena kalau lewat depan Mama akan tahu.

Kini jarakku dan pohon mangga sekitar tiga meter. Baiklah, jangan panik, Ve! Kalau sudah maju, dilarang mundur! Aku terus melangkah mendekati pohon tersebut dan sudah siap mengangkat sapu untuk memukulnya.

"Maling!" Aku berteriak sambil memukul sapu ke arah orang yang belum aku ketahui wujudnya. Namun, tak ada seorang pun di balik pohon mangga ini. Ujung sepatu yang kulihat tadi juga hilang. Aku melihat ke arah tembok. Bayangan tadi juga hilang. Ke mana sosok itu? Apa dia ternyata memang bukan manusia?

"Ve, kok, malah ke situ, sih? Udah malem, loh."

Aku menoleh ke arah jendela, karena Mama memanggilku. Aku yang masih bingung, memilih meninggalkan pohon mangga dan segera lari ke rumah. Tentunya lewat pintu belakang.

"Kamu ngapain, Ve, malah berdiri di bawah pohon mangga. Kalau kesambet gimana coba?" Mama sibuk mengomeliku, tetapi aku masih terdiam, memikirkan sosok apa yang kulihat tadi.

"Ve? Kok bengong?"

"Ini tadi, m-mau ngambil mangga jatuh, sih. Sayang banget, Ma," ucapku terbata-bata.

"Ya, udah, gih. Kunci pintunya terus masuk kamar. Udah malem, besok sekolah."

Aku mengangguk, lalu menaruh sapu pada tempat semula. Kemudian masuk ke kamar. Sampai di kamar, aku masih saja memikirkan bayangan tadi. Apa mungkin itu Ellora? Lalu, setelah ia tahu aku mendekat, ia langsung menghilang.

----

"Ve, bangun!"

Samar-samar aku mendengar suara Nio. Apa aku mimpi? Kok, suaranya jelas sekali, sih? Aku mulai membuka mataku dengan perlahan.

"Nio?! Lo ngapain pagi-pagi udah ngagetin gue, anjir!" Aku langsung duduk karena kaget. Ternyata Nio sudah berdiri di sudut tembok kamarku.

"Mari kita mulai penyelidikannya," ucapnya lalu tersenyum sumringah.

"Jadi, lo dateng pagi-pagi ke kamar gue cuma buat ngajakin penyelidikan?" Ia hanya diam tanpa menjawab.

"Ya, udah. Lo ngapain masih berdiri di situ? Nio, penyelidikannya tuh, nanti pulang sekolah. Udah sono, lu kayak nggak ada kerjaan lain!"

"Ve? Udah bangun?" Mama berteriak dari luar kamarku.

"U-udah, Ma." Aku mengedipkan berulang kali pada Nio. Isyarat agar ia segera pergi.

Before Sunset [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang