🪐37. Sebuah Kebenaran

236 48 309
                                    

Happy reading 🪐------

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading 🪐
------

Sekarang sudah pukul sembilan malam. Sepertinya Mama tidak tahu jika aku akan keluar lagi malam ini. Sepertinya Mama pun sudah tidur. Iya, malam ini rencananya kami akan bersama-sama menyelidiki ke rumah Rana. Aku berharap ada titik terang dari kasus Nio ini.

Sebenarnya kami janjian pukul delapan malam. Namun, entah ada masalah apa, Nio sedikit terlambat hampir satu jam. Satur pun dari tadi berulang kali melirik jam tangannya. "Mau nunggu sampe kapan, sih, Sat. Nio jugaan lama banget, elah. Udah ngantuk gue, sumpah."

Jangan kalian kira aku tidak menggerutu sejak tadi. Bahkan, mungkin Satur sudah kenyang mendengar keluhanku selama satu jam. Habisnya, Nio terlalu lama. Aku pun sejak tadi sudah mengajak Satur untuk berangkat duluan, tetapi Satur tetap memilih untuk menunggu Nio.

Akhirnya setelah beberapa menit berlalu, Nio pun tiba-tiba muncul. "Lo kemana aja, sih, Nio? Lo telat satu jam tau nggak?"

"Maaf-maaf, tadi ada urusan penting," jelasnya.

Kami segera bersiap-siap berangkat. Tadi kami sudah menyusun rencana untuk menjebak papanya Rana. Aku tahu ini terkesan tidak sopan, tetapi apa boleh buat? Karena menurut kami ini adalah cara ampuh untuk membuat ia mengakui semuanya.

Sekarang kami sudah ada di dapur rumah Rana. Mereka menggunakan kemampuan teleportasinya tadi. Sumpah, dapurnya saja seluas ruang tamuku. "Sat, gede banget rumahnya." Aku tak henti-hentinya mengagumi rumah Rana. Ini seharusnya disebut istana.

"Kamu dari sini lurus saja, gudangnya ada di sebelah kiri. Pintu warna putih. Seperti rencana awal, urusan papanya Rana, biar saya dan Nio," titah Satur. Aku hanya mengangguk paham.

Kami lalu bergerak menuju posisi masing-masing. Aku menuju gudang dengan pelan-pelan. Aku dan Satur memakai alat seperti headset untuk berkomunikasi. Jadi nanti jika ada bahaya kami mudah untuk memberi tahu satu sama lain. Aku sedari tadi juga sudah menyalakan perekam suara di handphone-ku, agar nantinya ini bisa dijadikan bukti pada polisi.

Sekarang aku sudah masuk ke gudang ini. Aku sedari tadi celingukan mencari sakelar lampu. Namun nihil, tak ada satu pun saklar di sini. Untung saja aku membawa korek, untuk jaga-jaga.

Lama sekali mereka. Sudah hampir lima belas menit aku berada di ruangan yang gelap dan sumpek ini. Samar-samar aku mendengar suara laki-laki yang berteriak. "Lepaskan saya, Satur! Kamu kenapa kurang ajar gini, sih?!" teriak laki-laki dari luar. Itu pasti suara papanya Rana.

Nio kemudian muncul di sampingku. Loh, kok, dia malah ke sini, sih? Ini bukan bagian dari rencana sebelumnya. "Kok, lo ke sini? Bukannya harusnya lo tunggu di luar sama Satur?" tanyaku heran.

"Satur yang suruh saya temani kamu. Ia bilang papanya Rana itu nekat, mana bisa kami meninggalkan kamu dan manusia iblis itu berdua dalam ruangan ini?"

Before Sunset [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang