6. pada sepasang mata yang membawaku pada semestanya

16 3 0
                                    

6. pada sepasang mata yang tidak sengaja membawaku pada semestanya

Saat itu, ketika sepasang mataku menangkap dirimu dari radar yang jauh, hatiku seolah berbisik lirih, dia, ya, orangnya? Sangat lirih, hembusan angin yang pagi itu menyapa kita pun kalah akan lirihnya.

"AJENG SARAPAN."

Buru-buru Ajeng menutup buku yang baru saja ia baca setengah kalimatnya. Ada debar yang kian menggila usai suara Mama menggema di antara bisu yang baru saja ia persilahkan datang di sana. Langkah kakinya kini diayun begitu kencang untuk sejenak menemani Mama sarapan di bawah.

"Bisa lho manggilnya pelan-pelan."

"Bisa banget, tapi kamu kalau gak Mama teriakin mana pernah keluar kamar. Apa, sih, sebenarnya yang kamu lakuin di dalam kamarmu yang rapih itu?"

Ajeng menghela napas. Ia mengambil duduk di seberang Mama. Membiarkan Mama pagi itu kembali mengomelinya dengan panjang dan lebar. Kemudian, helaan napas gusar sengaja Ajeng hembuskan seraya tangannya menyendok nasi hangat di meja itu.

"Bapak kapan pulang?" tanya Ajeng tiba-tiba.

Mama tak membalas, tetap fokus menyuap nasi dan mengunyahnya cepat-cepat.

"Bapak udah setahun gak pulang. Udah setahun juga Bapak gak ngasih kabar. Kemarin, pas Ajeng ulang tahun Bapak juga gak ngasih ucapan selamat. Sebenarnya, di sana Bapak kerja apa, Ma?"

Sudah terlalu lama Ajeng mengubur rasa penasarannya. Terkait Bapak yang pada saat itu tiba-tiba mengatakan ingin kerja di luar kota. Katanya, ada proyek yang harus segera ditangani, tapi setahun berlalu Bapak seperti hilang dari radar bumi. Benar-benar tak pernah lagi Ajeng temukan jejaknya di manapun Ajeng ingin mencari.

"Albar sama Kenken kapan pulang? Ngerantau jauh-jauh. Gak kasihan apa Mamanya di sini sendiri kalau ditinggal Kakaknya kerja," sindir Ajeng sekali lagi.

Kali ini Mama mengangkat wajah. Garis mukanya berubah, terlihat lebih bersemangat usai sebelumnya begitu mendung dan tak terbaca. Melihat itu, diam-diam Ajeng menelan kembali kalimatnya yang tak mampu ia ucap di sana. Sepertinya, pertanyaan apapun tak masalah bagi Mama, asal bukan tentang Bapak.

"Eh, kapan pernikahan Bella?"

"Bulan depan, Ma."

Lalu Mama tersenyum di tempatnya.

"Akhirnya, ya, sahabatmu itu ketemu sama jodohnya."

"Iya, akhirnya setelah ribuan purnama."

"Lebay deh," balas Mama melihat Ajeng yang seakan tak minat di tempatnya.

"Kamu kapan?"

"Apanya yang kapan?"

Ajeng memberanikan diri membalas tatapan Mama. Ini sudah ke sekian kalinya Mama menyinggung ke arah sana, dan sudah ke sekian kalinya Ajeng terus saja membanting percakapan tentang hal ini.

Ajeng menarik napas panjang, sekali lagi menatap Mama lekat sebelum akhirnya membuka suara.

"Nanti. Ajeng nanti. Nanti kalau sudah saatnya. Nanti kalau sudah ketemu sama jodohnya. Nanti, suatu hari."

"Tapi kapan? Mama juga pengen lihat kamu punya pacar. Coba Mama tanya sekarang kamu umurnya berapa?"

"Baru dua puluh tujuh," sahut Ajeng enteng.

"Tuh kan udah tua."

"Ih Mama apa, sih, kok buru-buruin Ajeng mentang-bentang Bella mau nikah bulan depan," protes Ajeng tak terima.

"Masalahnya di geng kamu yang belum nikah cuma kamu aja, Ajeng Anantari Ilham anak Mama," balas Mama penuh penekanan.

Ajeng langsung meletakkan sendoknya. Pagi itu selera makannya hilang seketika. Ada hela napas berat yang sengaja Ajeng sembunyikan di meja makan. Sesuatu yang tak mampu Ajeng suarakan pada siapa-siapa tentang hadirnya yang tiba-tiba. Sebuah sesak yang kerap kali Ajeng usir getarannya, walau tak bisa. Detik itu, di meja makan, air mata Ajeng hampir tumpah.

about youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang