14. untuk sebuah memori yang nanti akan hilang

9 1 0
                                    

14. untuk sebuah memori yang nanti akan hilang


Nanti, ketika kita sudah tidak ada, cerita ini akan jadi memori yang abadi. Pada rasa yang mungkin belum sepenuhnya tersampaikan, semoga kemarin masih mampu kita sapa, walau ia hanya berwujudkan kenangan.

Tapi, bagaimana seandainya aku lupa jika kita pernah ada?

Namun, sepertinya tidak ada jawaban untuk pertanyaan yang tak mampu kau jawab. Seperti katanya, untuk apa mengajakmu bahagia, jika bersamaku, bahagia saja tak kau temukan di sana?

Ajeng tak mampu memahami arti kalimat panjang yang tertulis di buku ini. Bahkan sampai ia membacanya berulang kali pun, Ajeng tetap tak paham. Malam itu sudah hampir pukul 12, tapi Ajeng masih terjaga dengan harapan novel yang sedang ia baca ini dapat dituntaskan pada malam yang sama, tapi sepertinya harapan hanya tinggal harapan. Kini baru sampai di bab 14, Ajeng sudah menyerah.

"Kayak gak asing," gumamnya seraya menutup novel itu dengan sempurna. Berikutnya, Ajeng hanya menaruh novel bersampul biru itu di atas meja, menatapnya cukup lama.

About You.

Itu adalah judul yang tertera di sana. Bahkan, seluruh karakter yang hadir di novel itu, sangat familiar di hidup Ajeng. Seolah tanpa bertemu pun, Ajeng seperti mengenal tokoh-tokohnya dengan baik. Tapi, sebanyak apapun ia mencoba mengingatnya, Ajeng tetap tak bisa.

Buru-buru Ajeng meraih hapenya. Ia mulai membuka room chat mereka bertiga yang masih saja ramai. Rupanya, Emi sedang mengirim berbagai macam model baju pengiring pengantin. Ah, sekarang Ajeng jadi ingat jika bulan depan sahabatnnya, Bella, akan menikah. Akhirnya, setelah melewati berbagai macam sulitnya jatuh dan cinta, sebentar lagi gadis itu akan melepas masa lajangnya.

"Mama pasti lupa matiin lampu ruang tengah," gumam Ajeng, lantas segera bangkit dan berjalan kecil keluar kamarnya.

Namun, saat langkahnya baru ingin menginjak lantai luar kamar, gadis itu terdiam. Ia berhenti dan membisu di depan lemarinya yang menjulang. Ada debar aneh yang tiba-tiba hinggap di jantungnya, membawa Ajeng untuk turut menoleh pada lemari tinggi itu, dan diam cukup lama.

Tatapan Ajeng jatuh pada sebuah foto yang terbingkai, terpajang rapih di dalam lemari kaca itu. Entah kapan ia menaruhnya di sana, bahkan Ajeng pun sudah lupa, tapi lebih dari apapun Ajeng lebih terkejut selama ini ia tak menyadari keberadaannya.

Pada sebuah foto kelulusan SMP, saat orang-orang yang ada di dalam foto itu masih ada, saat-saat itu adalah hari-hari bahagia Ajeng yang sempurna. Diam-diam sepasang mata Ajeng kini mulai basah. Ada begitu banyak kecewa yang tertumpuk di dadanya. Sebuah gagal yang Ajeng sendiri bingung harus mulai menyebutkannya dari arah mana.

"Maaf."

Hanya satu kata itu yang mampu Ajeng suarakan. Tak lama ia meraih pelan foto itu dari dalam sana. Memandanginya lagi dalam waktu yang cukup lama.

"Fahmi ... lo yang pertama pergi," katanya, beriringan bagaimana kini air matanya tumpah.

"Terus lo, lo yang tega ninggalin gue di saat hidup lagi hancur-hancurnya," kata Ajeng, menunjuk foto laki-laki di sebelah kirinya, di sana mereka berlima tersenyum begitu cerah.

Sialnya, hanya ini satu-satunya tentang mereka yang abadi. Sebab, kenangan yang lain entah ada di mana. Beberapa lainnya sudah hilang dan hancur, entah bagaimana bisa.

"Dan lo, lo yang buat persahabatan kita retak gara-gara egois," ucap Ajeng, menunjuk sosok lelaki dengan tubuh paling tinggi, merangkul Ajeng di sebelah kanannya.

"Hahaha lupa, kalau yang ini nyakitinnya lebih parah."

Namun, Ajeng justru tertawa. Ia seolah kembali dihadirkan tentang sebuah kenangan lalu yang tak mungkin lagi bisa diulang. Jujur, Ajeng rindu mereka. Lebih daripada rasa sakit yang mereka berikan, rasa rindu ini skalanya lebih besar, tak terhingga.

about youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang