28. cerita baru tentang sebuah hilang
Alaska, jangan jadi lama yang tidak kebagian.
Sebab untukmu, aku sudah menyiapkan lebih.
—di depan toko pelangi, 2018
Ajeng menatap tulisan di balik sebuah foto yang tidak sengaja ia temukan di tumpukan buku lamanya. Pada sebuah foto yang terselip di lembar paling terakhir buku catatan biologi, juga cerita yang tiba-tiba memenuhi isi kepalanya tentang hari di mana foto itu diabadikan. Ada senyum kecil yang terbit di sudut-sudut bibir Ajeng, melengkung dengan sepasang mata menyipit sempurna. Padahal, ia hanya mengingatnya, tapi semua memori tentang hari itu tak pernah hilang dari ruang ingatannya.
Benar kata Alaska, semua akan pergi, kecuali memori. Ya, semua akan pergi, bahkan seseorang yang mencetuskan kalimat itu pun, kini tidak bisa lagi ia temui.
"Sudah hampir sepuluh tahun, Al. Sepuluh tahun tanpa Alaska."
Dinding-dinding gudang yang penuh debu sudah cukup menegaskan betapa usangnya perasaan itu. Tapi, ini membuktikan bahwa waktu tidak bisa membayar tuntas semua kerinduan yang hidup di hatinya. Waktu berbohong saat mengatakan akan membuat ia lupa. Jika pada akhirnya, lupa hanya menjadi bagian paling mustahil saat orang-orang mempertanyakan mereka.
Ya, bahkan sejengkal pun Ajeng tidak pernah melupakan Alaska. Bahkan jika orang-orang bertanya apa saja yang pernah terjadi, Ajeng masih punya banyak tenaga untuk menjelaskan detailnya. Sebab, jika tentang Alaska, ingatan Ajeng akan menajam bersama kenangannya. Karena bagi Ajeng, Alaska bukan hanya sekedar tokoh utama, tapi juga satu-satunya. Walau mungkin pernah ada tokoh lain yang ingin menggantikan peran Alaska, sampai detik ini tak ada yang benar-benar mampu melakukannya, bahkan seseorang yang dulu pernah mengatakan sangat mampu pun, kini hilang entah ke mana.
Ajeng hanya tidak menyangka akan menghabiskan sebagian hidupnya untuk mengenang laki-laki yang kini tidak ada. Sebuah usaha sia-sia, tapi beranjak dari sana bukan perkara yang mudah.
"Tapi, sepertinya persiapan itu berlebihan."
Ajeng menunduk seraya mengembalikan foto itu pada tempatnya. Ia menghela napas panjang, kembali mencari cetakan kue yang Mama bilang ada di gudang. Kini Ajeng curiga, apakah Mama sengaja membawanya ke sini untuk sekedar mengenang-ngenang?
"Lama amat."
Mama tiba-tiba muncul di belakangnya, lengkap dengan daster yang kini kecipratan adonan kue yang ia racik barusan. Ajeng sengaja tak menjawab, tangannya kembali mencari-cari keberadaan cetakan kue yang Mama katakan.
"Kamu gak nyari yang bener, ya?" tuduh Mama.
Ajeng hanya bergeming di tempatnya.
"Coba di dekat kardus buku-buku bekasmu dulu itu. Cari di situ. Kayaknya dulu Mama taruh di situ deh."
Ajeng melangkah ke bagian dalam gudang. Sesekali terbatuk akibat debu-debu yang beterbangan.
"Lain kali, kalau barangnya masih dipakai, jangan disimpan di gudang," ucap Ajeng, masih berusaha menemukan cetakan kue itu.
Raut wajah Ajeng tak terbaca, tapi dari pandangan Mama, kini anak gadisnya itu pasti sedang kesal setengah mati. Ya, mau bagaimana lagi, Mama kini hanya punya Ajeng. Jadi, Ajeng adalah satu-satunya yang paling bisa Mama andalkan, setidaknya untuk saat ini.
"Emangnya siapa yang mau datang, sih, Ma?"
"Gak usah kepo kamu."
"Idiihh."
"Ketemu gak?"
"Nih."
Ajeng menghela napas panjang dengan tangan menyodorkan puluhan cetakan kue kecil berbentuk bintang itu pada Mama. Dapat Ajeng saksikan raut gembira Mama saat ia berhasil menemukannya. Diam-diam Ajeng tertawa kecil, tapi berikutnya tawa itu lenyap saat sepasang matanya menemukan sesuatu yang begitu menarik perhatian di sudut gudang.
KAMU SEDANG MEMBACA
about you
Teen Fictionketika namamu mulai memudar, dan aku sudah tidak bisa lagi membuatnya abadi, tolong bisikkan pada daun yang jatuh bahwa di manapun kamu berada, kamu baik-baik saja. kita adalah pernah yang tak punya banyak episode untuk bersama. kita adalah sepasang...