18. sebuah ketertinggalan

6 1 0
                                    

18. sebuah ketertinggalan

Seandainya masih jadi sebuah kata yang sejak tadi digumamkan Ajeng pada sepanjang jalan menuju sekolah. Ketika tiba-tiba ia bangun kesiangan, juga ketika ia mengabaikan seluruh panggilan anak-anak kompleks perumahannya untuk cepat-cepat datang sebelum ketinggalan bus sekolah. Namun, kini semuanya sudah terlambat. Seandainya kini hanya jadi kata yang mampu menegaskan betapa Ajeng telah gagal, dan mungkin sudah tak akan ada kesempatan kedua untuk membuat dirinya bangun cepat-cepat.

"Pak, bisa lebih cepat lagi gak? Saya udah telat. Upacaranya pasti udah mulai."

"Sabar, Mbak. Saya bukan kereta api."

"Pak, jangan aneh-aneh, deh. Saya lagi kesal."

Ajeng mencebik sempurna. Membuang wajah seraya menutup kaca helmnya. Sepasang mata Ajeng bergerak-gerak gelisah, mulai menyusuri pandangan ke segala arah—agar air mata di kelopaknya tak tumpah.

Sungguh, tak pernah sekalipun dalam hidupnya bersekolah, Ajeng terlambat seperti ini. Dan karena tidak pernah, Ajeng merasa hari ini adalah hari paling buruk sedunia.

"Pak, gerbangnya udah ditutup," lapor Ajeng, dengan kedua tangan melepas helm itu.

Tukang ojek yang gadis itu ajak bicara hanya mampu memandangnya dengan tatapan kasihan. Sambil geleng-geleng kepala, tukang ojek itu meraih sodoran helm dari Ajeng.

Ya, mau bagaimana lagi? Mau memutar waktu juga tidak bisa. Meski manusia punya banyak ingin dan tekat untuk mewujudkannya, tapi dunia tidak bekerja dengan sederhana. Ia punya hukum sendiri yang tak bisa ditembus oleh tangan-tangan manusia.

Ajeng memandangi kepergian tukang ojek itu seraya merapatkan dirinya di tepi gerbang. Tiba-tiba keheningan yang menyapanya, seolah berbisik tentang kegagalan-kegagalan lain di hidupnya.

Pertama, gagal tentang menjaga Fahmi di bumi.

Kedua, gagal mempertahankan peringkat Try Out bulanan sekolah.

Ketiga, gagal menepati janjinya pada Fahmi untuk hidup lebih bahagia setiap harinya.

Serta gagal-gagal lain yang tak lagi mampu Ajeng deskripsikan betapa buruk ia menempatkan diri pada kesempatan-kesempatan yang hadir.

"Hari ini Try Out ke sembilan. Kalau gue gagal masuk sepuluh besar, semuanya pasti kecewa."

"Gue enggak."

Hening.

Pelan-pelan Ajeng memutar kepalanya. Tepat ketika retinanya menangkap bayang tubuh seseorang yang berdiri membelakanginya, detik itu Ajeng terkesiap sempurna. Tubuhnya jadi menegang. Seolah pasokan udara di sana lenyap, entah ke mana.

Sampai kemudian wajah teduh milik laki-laki itu tertangkap oleh sepasang mata jernih Ajeng, pada detik yang sama matahari di atas sana panasnya tak lagi mampu menembus kulit Ajeng. Segalanya di sana bagaikan musim dingin yang menyejukkan.

"Hii. Kenapa telat?"

Nada itu terdengar canggung di telinga Ajeng. Namun, dengan gerakan cepat, Ajeng menepis segala kemungkinan-kemungkinan yang kini berkelana di kepalanya.

"Gue disuruh jaga di gerbang sama Bu Bina. Disuruh ngawasi anak-anak yang telat."

Wajah Alaska merekah, ada begitu banyak binar yang Ajeng saksikan di sekitarnya.

"Lo hari ini beruntung."

"Beruntung dari mana?"

"Karena hari ini gue juga disuruh Bu Bina buat kasih hukuman ke anak-anak yang telat." Lalu tatapan Alaska mengedar. Berikutnya, senyum di sudut-sudut bibir laki-laki itu kian ceria. "Beruntungnya lagi, hari ini yang telat cuma lo," lanjutnya.

about youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang