20. kurang satu langkah

12 2 0
                                    

20. kurang satu langkah


Senyum. Senyum saja. Cukup senyum.

Semesta pasti akan jaga bahagianya

kalau kamu senyum dengan manis.


Kira-kira, begitulah isi surat yang Ajeng temukan di laci mejanya tadi pagi. Bahkan sampai bel pulang sekolah berbunyi, surat itu masih Ajeng pandang-pandang dengan tatapan tak terbaca. Ada gejolak aneh setiap kali laki-laki itu mengiriminya surat begini. Pada sebuah rasa tenang yang tak mampu Ajeng deskripsikan dengan apapun.

Aldi yang menunggu gadis itu-yang kini sampai ketiduran di mejanya-benar-benar Ajeng abaikan seutuhnya. Kini Ajeng sedang mengenang-ngenang. Kembali menjelajahi cerita panjang yang telah mereka lukis pada lembar kisah yang sama. Sudah hampir satu tahun berlalu sejak surat pertama itu Ajeng terima. Dan pada waktu yang sama, surat-surat itu akhirnya Ajeng simpan di dalam kotak bekas parfum milik Mama di laci lemarinya.

Sebuah kotak penuh surat dari Alaska, yang sengaja Ajeng abdikan bersama perasaannya?

Eh?

Ajeng menggeleng, nyaris tersenyum lebar setiap kali wajah Alaska memenuhi kepalanya.

"Semoga dia masih suka gue."

Walau Alaska tak pernah mengatakan bahwa laki-laki itu menyukainya, tapi dari seluruh perlakuan manis Alaska padanya, sudah cukup menegaskan jika Alaska memang menyukainya. Dengan Ajeng, Alaska selalu murah senyum-walau pada semuanya laki-laki itu juga ramah. Dengan Ajeng, Alaska selalu jadi sosok yang paling bisa diandalkan-lebih dari siapapun. Dengan Ajeng, Alaska selalu meratukan Ajeng dengan caranya-menanyakan ke Mama tentang keadaannya setiap malam, misalnya.

Ajeng tersenyum lebar. Melipat dengan rapih surat kecil itu dan menggenggamnya dengan erat. Kini Ajeng siap untuk menunggu bus di angkringan depan sekolah.

"Fahmi, lihat, ada yang menggeser posisi lo di hidup gue dalam segalanya hahaha."

Setidaknya, Ajeng masih punya banyak orang yang menyayanginya. Ajeng senang dengan kehidupannya yang sekarang. Ajeng senang dikelilingi orang-orang baik di hidupnya. Ya, entah kenapa, segalanya jadi terasa mudah belakangan.

"Alaska memang beda. Sejak awal anak ini emang kelihatan unik dari teman-temannya."

Begitulah monolog Ajeng pada sepanjang melewati koridor kelas 10. Hanya ada hiruk-pikuk langkah murid-murid lainnya yang juga bersiap untuk pulang. Sementara, sengaja Ajeng meninggalkan Aldi tidur di kelas, sebenarnya tak tega. Tapi, tadi Ajeng sudah menelfon Fariz agar membangunkannya usai urusannya di ruang mading selesai.

"Tapi kok kayaknya gue, ya, yang ge-er begini? Jangan sampai Alaska bukan suka, jangan-jangan dia cuma kasihan sama gue?"

Ajeng sampai memiringkan kepala dan mengernyit heran di tempatnya. Kini, gadis itu telah tiba di dekat gerbang sekolah. Tak segera ke angkringan, Ajeng justru berbelok ke pos satpam yang kini sedang kosong tak berpenghuni. Gadis itu duduk di terasnya, memandang lurus ke arah depan dengan sorot mata tak terbaca.

Tiba-tiba saja kepalanya seolah memutar rangkaian kebaikan Alaska padanya. Dan pertanyaan mengenai apakah Alaska menyukainya atau tidak, kini berputar-putar di sana.

"Akhirnya kita ketemu."

Ajeng diam. Kini membisu. Bahkan tubuhnya terasa begitu kaku saat mendengar nada suara seseorang itu. Tak ingin semakin tenggelam dalam pikirannya, Ajeng menoleh sempurna.

"Hallo, senang bertemu lo di sini."

Garis wajah laki-laki itu ketika tersenyum masih sama. Wajahnya yang memerah saat terkena matahari masih tak berubah. Rambut laki-laki itu masih hitam legam, seperti sebelumnya. Mungkin, satu-satunya yang berbeda hanyalah tinggi badannya yang kian menjulang.

about youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang