27. kembali ke halaman pertama

4 1 0
                                    


27. kembali ke halaman pertama


"Ajeng."

Panggilan itu memecahkan lamunan Ajeng di tepi ruko. Pada sepenggal lagu yang terpaksa ia sudahi, juga rintikan hujan yang sore itu kembali menjadi saksi, Ajeng menoleh sempurna, melepas topi hoodie putihnya dan menatap laki-laki itu dengan senyum tipis di wajahnya.

Ya, ternyata masih sama.

"Hujan ke tiga puluh dua semenjak awal perkenalan kita," ucap Alaska, menaruh kedua talapak tangannya pada pipi Ajeng.

"Kenapa belum pulang?" tanya Ajeng, kini merapatkan dirinya pada Alaska. Pada satu-satunya laki-laki di Taruna Bangsa yang paling Ajeng suka.

"Sedang merajut kenangan dengan pacar hehehe," balas Alaska, segera dipukul lengannya oleh Ajeng.

"Becanda terus deh."

"Lagi-lagi toko pelangi jadi saksi," lanjut Alaska.

"Dan hujan," tambah Ajeng berikutnya.

Sesaat, pada lima belas detik waktu membius dirinya, angin seperti berbisik tentang indah sosok di hadapannya. Ini bukan pertama kalinya Alaska terjebak pada sepasang mata menyesatkan itu, tapi pada kenyataan yang sama, mana mungkin Alaska melewatkan lima belas detik berharga itu tanpa menikmati tatapan teduh penuh arti miliknya.

"Dunia seperti milik berdua," lirih Alaska.

Dadanya bergemuruh kian berisik, menegaskan betapa gugupnya ia saat itu.

"Kalau dunia milik kita berdua, terus yang lain apa?" balas gadis itu sambil sesekali tertawa.

Suara tawa di tengah gerimis Taruna Bangsa yang akan selalu terabadikan dengan sempurna di ingatan Alaska. Ya, setidaknya begitu. Sebab, seperti katanya, semua akan pergi kecuali memori.

"Yang lain ngontrak."

"Kita akan jadi orang paling kaya di dunia ini kalau begitu hahaha."

"Jadi kaya itu nggak penting, Ajeng. Yang penting itu bahagia."

"Kayak sekarang, kan?"

"Iya, kayak kita."

Bersamaan kalimat Alaska menggema, guntur terdengar puluhan kali lebih kencang entah dari mana. Ajeng yang kaget seketika merapatkan dirinya. Sepasang matanya membulat menyala-nyala, kaget tiada tara. Sementara Alaska tak banyak tingkah. Ia hanya menggerutu dalam hati. Jika hujan tidak segera berhenti, bagaimana mereka bisa segera pulang ke rumah?

"Kok belum ada yang jemput?"

Ajeng menggeleng sebagai jawaban.

"Enggak tahu, tumben juga telat hari ini."

"Kalau pulang sama Alaska, mau?" tanya Alaska tiba-tiba.

Ajeng yang sebelumnya fokus meratapi rintikan hujan di depannya seketika menoleh, mengangkat kedua alisnya. Kemudian gadis itu menggeleng, tentu saja jawaban itu membuat Alaska kecewa. Tapi, Alaska tidak ingin jadi manusia yang serakah, manusia yang akan selalu tidak terima jika semesta bekerja tidak seperti harapannya. Ya, Alaska hanya tidak ingin merugi atas segalanya. Sebab, setiap manusia berhak untuk menentukan pilihannya sendiri. Bahwa pilihan tidak harus sama, yang penting jelas kebermanfaatannya.

"Kenapa?"

"Bapak bilang hari ini bakal jemput, kalau pulang duluan, nanti Bapak kecewa."

"Pacarnya siapa, sih, perempuan baik ini?"

Alaska terkekeh sendiri di tempatnya, dengan tangan yang terulur mengusap-usap puncak kepala Ajeng, diam-diam laki-laki itu juga bergumam tak jelas—salah tingkah—setiap kali mendengar jawaban Ajeng tentang segalanya.

about youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang