30. ajakan untuk bahagia

4 1 0
                                    

30. ajakan untuk bahagia



Mereka berempat duduk melingkar di meja bundar ruang makan rumah Adinata. Rumah yang akan selalu menjadi saksi persahabatan tentang anak-anak manusia yang penuh ambisi dalam hidupnya. Rumah yang di setiap dinding-dindingnya menyimpan kenangan mereka sejak masih di bangku TK. Rumah yang besar, tapi tak cukup menampung keriangan yang bergelar selamanya.

Ajeng jadi orang pertama yang memejamkan mata, kini meneriakkan doa-doa untuk dikirimkan pada alharhum sahabatnya. Bibirnya tersenyum kecil, juga bagaimana Aldi siap memadamkan lilin-lilin yang menyala di depan mereka. Sementara, Adinata diam mengamati, ia fokus merekam kebersamaan mereka dalam memori ingatannya. Walau begitu, tetap saja, kekosongan di hatinya masih terbuka dengan sempurna, tentu saja meneriakkan nama Fahmi, berharap untuk sekali saja hadir di antara mereka, walau tidak bisa.

"Selamat ulang tahun, Fahmi. Yang tersayang di bumi Pertiwi," ucap Ajeng.

Fariz diam mendengarkan, paham betul keheningan itu hanya semakin menikamnya. Kini, perayaan ulang tahunnya tak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Doa-doa yang akan mengangkasa, sudah jelas hanya untuk kedamaian satu nama. Nama yang akan dikenang dengan baik oleh mereka, juga bagaimana kenangan hidupnya akan tersimpan rapih pada memori ingatan orang-orang yang menyayanginya.

"Selamat ulang tahun juga, Fariz. Sahabat gue yang paling sabar sejagat raya."

"Gue! Gue juga sabar! Sabar menghadapi lo!"

Suara Aldi tiba-tiba memecahkan keseriusan di sana. Ajeng jelas menatapnya kesal, mendorong-dorong Aldi agar menjauh darinya. Adinata hanya tertawa, berikutnya meniup lilin itu cepat, dan semuanya padam begitu saja. Fariz terlihat baru saja selesai mengucapkan permohonannya, dan raut wajahnya langsung keruh saat menyaksikan lilin-lilin itu sudah dicabut oleh Aldi dengan wajah yang sangat menyebalkan.

"Suapan pertama buat gue. Lo inget kan, Riz, gue orang yang akan dengan cuma-cuma datang ke lo kalau lo lagi susah. Camkan itu!"

Tiba-tiba Aldi memotong hampir sepertiga kue ulang tahun Fariz, menaruhnya di atas piring dan meletakkan sendok di sana. Tanpa basa-basi, Fariz menyuapi Aldi dengan potongan yang cukup besar.

"Puas lo!"

"Tewrimwa kwaswih swahwabwatkwu."

"Mending kunci mulut," sahut Ajeng. Kini gadis itu mendekatkan dirinya. Ia membuka mulut lebar-lebar.

"Giliran gue. Lo pasti gak lupa kan, gue selalu jadi orang pertama yang lo cari kalau lagi hilang ide belajar. Ingat kawan, jangan jadi lupa kacang akan kulitnya."

Fariz menyunggingkan senyum sinis. Melakukan hal yang sama untuk sahabat perempuan satu-satunya itu. Memberikan suapan kue untuk Ajeng dengan potongan yang sempurna. Adinata sendiri hanya geleng-geleng kepala.

"Sekarang Adinata. Dia belum disuap," kata Ajeng.

Fariz diam menatap Adinata yang kini menggeleng kecil di tempatnya.

"Ajeng, lo lupa kalau Adinata alergi susu?"

Semuanya diam. Bahkan Aldi pun ikut termenung dengan ucapannya.

"Aldi, gue juga alergi susu ..."

Semuanya tersentak. Ajeng tiba-tiba memuntahkan kembali makanannya tepat di piring Aldi. Jelas saja Aldi marah-marah karenanya. Sungguh, apakah Ajeng tidak bisa lebih sopan sedikit? Kalau begini Aldi juga ingin muntah rasanya!

Adinata bergerak, mengulurkan sekotak tissue untuk gadis itu, juga bagaimana ia mendorong kecil piring berisi salad buah favorit Fahmi ke depannya.

"Makan ini aja," katanya lirih.

about youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang