16. kehadiran yang tak dihiraukan

4 1 0
                                    

16. kehadiran yang tak dihiraukan


Hanya ada riuh murid-murid Taruna Bangsa yang pagi itu mengganggu Salma. Namun, sebanyak apapun tanya yang kini coba gadis itu sembunyikan di sudut hatinya, semua itu selalu berakhir jadi sebuah rasa tidak terima.

"Makanannya dimakan kali, Sal. Lagian, kenapa lo ikut-ikutan galau gini, sih? Emang lo sedekat apa sama Fahmi?"

Suara Analisa Djuanda a.k.a Ana, sahabatnya, kini mampu membuat Salma menoleh sempurna. Tatapan Salma tak terbaca, tapi dari bagaimana garis wajah Salma pagi itu berubah, Ana tahu jika pertanyaannya ini tak bisa Salma terima.

Tak lama Ana hanya tertawa.

"Eh, mau tanya dong. Lo dekat, ya, sama Alaska? Tapi kayaknya Alaska lagi suka sama teman kelas gue, deh."

"Dekat," jawab Salma singkat.

Ana mengaduk-aduk jus apelnya. Tatapan gadis itu terlihat penuh curiga, tapi mau bagaimana pun Salma tak bisa menyimpulkan semuanya dengan tiba-tiba. Mau bagaimana pun, Ana adalah sahabatnya.

"Keren, ya, Alaska. Kemarin namanya nangkring di peringkat pertama Try Out bulanan," ucap Ana lagi.

Hela napas berat semakin menguar dari sela-sela hidung Salma. Gadis itu diam sesaat, memandangi Ana agak lama sebelum akhirnya berbicara.

"Apalagi sekarang dia nggota inti PASGA. Terus katanya, Alaska dulu pas SMP jadi ketua OSIS dua periode, ya?"

Namun, rupanya Ana tak berhenti bertanya. Sementara, Salma semakin menyipitkan matanya. Sungguh, di situasi seperti ini, tak sekali dua kali, Salma ingin menghilang saja dari bumi. Kenapa, sih, dirinya selalu dikait-kaitkan dengan Alaska? Kenapa memangnya jika Alaska hebat dalam segalanya? Kenapa?

Tak lama Salma membuang wajah.

"Iya, Alaska memang hebat."

"Betul. Cewek kayak kita mana pantas," sahut Ana lagi.

Entah kenapa, mendengarnya Salma ingin tertawa. Tapi, tawa kali ini adalah tawa yang sepertinya tak ingin Ana dengar di sana.

"Elo kali yang gak pantas. Kalau gue, ya, gak mungkin gak pantas. Cuma kan gue sama Alaska sahabat sejak kecil. Lagian bagi gue, Alaska itu cuma teman biasa yang tumbuh bersama sejak masih kecil, sama kayak Shaka, Arya, dan anak-anak lainnya," lanjut Salma lagi.

Namun, garis wajah Ana berubah tiba-tiba. Seolah kalimat Salma barusan terdengar agak tidak menyenangkan. Tapi berikutnya Ana langsung tersenyum lagi.

"Hahaha gue ngiranya kalian berdua pacaran. Soalnya cocok banget."

"Sorry, tapi walau ganteng dan penuh kharisma, Alaska bukan tipe gue," balas Salma sebelum akhirnya menyuap nasi goreng itu ke mulutnya.

Sementara, Ana kini mengerjapkan mata. Mulai menyusuri pandangannya pada sepenjuru kantin Taruna Bangsa. Ada begitu banyak pasokan udara di sana, tapi tak satu pun yang berhasil melegakan hatinya, entah kenapa.

"Eh, Sal. Gue cabut dulu, ya. Olahraga, nih, gue jam pertamanya."

"Woke hadija jangan lupa bawa air biar gak dehidrasi."

Kini, lapangan besar Taruna Bangsa adalah tujuan Ana. Usai membebaskan diri dari penjara kantin sekolah, Ana berjalan cepat menyusul teman-temannya yang mulai berkumpul di lapangan. Ia menyapu pandangan, mulai menangkap keberadaan Permata dan Ajeng yang sedang terlibat bercakapan di tepinya. Dengan gerakan cepat, juga perasaan yang begitu senang, Ana memacu lajunya pada mereka.

Ya, pada sosok gadis yang akhir-akhir ini sering diperbincangkan oleh warga Taruna Bangsa.

Diajeng Anantari Ilham.



about youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang