3. yang lebih cerah dari matahari

15 3 0
                                    

3. yang lebih cerah dari matahari


Sudah sore, tapi matahari yang hadir di antara mereka masih secerah sebelumnya. Ia seperti mengatakan pada makhluk bumi tentang betapa indah dan cantik sebuah hadirnya. Atau, ia hanya sedang mengirimkan pertanda tentang perginya yang tak akan lama, ia sedang berpamitan dengan seluruh isi bumi dan manusia.

Namun, di mata Alaska, sore itu ada yang lebih cerah dari matahari. Sebuah senyum kecil yang terbit pada wajah pucat gadis itu, masih jadi satu-satunya yang akan terus Alaska pandang-pandang sampai nanti dengan sendirinya ia menghilang.

Shaka dan Arya yang ditahan Alaska untuk menemaninya berdiri di atap sekolah hanya bisa menghela napas lelah. Bodohnya, mereka berdua tak bisa menolak usai diiming-imingi akan diajari Biologi—mengingat nilai mereka pada Ujian Nasional kemarin sangat kurang.

"Berat lur berat. Cintanya mulai gak tahu batas," ucap Shaka sambil menyandarkan tubuhnya di pembatas tembok atap itu.

"Hati-hati aja, Al. Tadi gue denger-denger, si Ajeng ini pawangnya banyak," tambah Arya, mengingat gosip yang ia dengar sepanjang koridor usai insiden Alaska menggendong Ajeng ke UKS.

"Tapi, kalau dipikir-pikir, sebenarnya yang harus hati-hati bukannya Ajeng, ya? Secara, teman kita yang satu ini fansnya banyak bor."

Shaka berpikir lagi, terakhir kali mengingat Alaska mendapat banyak sekali kiriman hadian di lokernya menjelang hari kelulusan di SMP. Lalu laki-laki jangkung itu berdecak sekali lagi.

"Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, fans banyak pun gak ada artinya kalau Alaska milihnya Ajeng," lanjut Shaka di tempatnya.

"Kalau dipikir-pikir, lo kebanyakan mikir," sambar Arya menatap Shaka. Laki-laki dengan seragam SMP nya yang mulai berantakan itu menggeleng kecil, duduk di sudut atap sambil menyesap rokok di tangannya.

"Kayak sebuah pepatah, lo bisa bersaing dengan semua orang yang menyukai dia, tapi lo gak bisa bersaing dengan seseorang yang dia sukai."

Itu adalah suara Alaska, menatap ke bawah, mengunci pandangannya pada sosok gadis yang kini berjalan lambat di tengah-tengah dua lelaki yang wajahnya sangat mirip. Di bawah sana, mereka berjalan berlima, sepertinya hendak ke gerbang menunggu bus jemputan. Dan dari jarak yang cukup jauh ini, Alaska hanya diam mengamati. Ia kembali mencerna perbuatannya hari ini. Memang benar, ia sudah berbuat hal baik dengan membantu gadis itu yang pingsan di tengah-tengah lapangan, tapi kalau dipikirkan kembali, tindakannya tadi terasa kurang tepat. Alaska merasa tidak sopan bertindak semaunya, apalagi di tengah-tengah status mereka yang belum resmi menjadi bagian Taruna Bangsa, lagi.

Yang lebih parahnya, Alaska kini justru kepikiran kalimat Shaka, bagaimana jika Ajeng diganggu karena dekat dengannya—lebih tepatnya karena ditolong olehnya? Bagaimana jika Ajeng merasa risih karena kelabilan Alaska dalam mengambil tindakan penyelamatan? Tapi, lebih dari apapun, jika tentang nyawa orang, Alaska tak akan sampai berpikir dua kali untuk menyelamatkannya.

"Balik deh. Gue mau istirahat. Hari ini terlalu panjang."

Alaska memimpin jalan. Shaka yang baru duduk di sebelah Arya langsung mengumpat kasar karenanya. Kemudian mereka bertiga akhirnya benar-benar memilih meninggalkan bagian atap Taruna Bangsa dengan jejaknya.

"Tapi, kalau bisa, lo kurang-kurangin ngerokok di sekolah. Gak bagus kalau sampai dilihat sama warga Taruna Bangsa. Selain melanggar aturan, apalagi lo alumni, lo masih terlalu muda untuk mati," ucap Alaska tiba-tiba, menyeret langkahnya lebih jauh dari radar mereka berdua.

Shaka hanya diam, menatap kepergian Alaska dan Arya bergantian, sementara Arya masih hilang kata. Ia tertegun di tempatnya. Diam-diam menurunkan sebatang rokok itu dari mulutnya.

about youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang