10. mantra untuk abadi

11 3 0
                                    

10. mantra untuk abadi


Meninggalkan kisah Adinata yang patah hati semalam, sepertinya siang ini semua waktu akan diambil alih oleh cerita milik Bella yang berakhir sama. Di sudut perpustakaan, mereka bertiga, Ajeng, Emi, dan Bella memilih menepikan diri dari riuh Taruna Bangsa. Ada dua alasan kenapa mereka ada di sana. Pertama, karena Bella sedang patah hati. Kedua, karena ada sebuah tugas dari Bu Lusi yang harus diselesaikan hari ini—tugas milik Emi dan Ajeng.

"Gue sakit hati banget, Jeng."

Ajeng menghela napasnya berat. Emi sendiri kini sedang mencari-cari buku pelajaran terkait di rak-rak tengah perpustakaan.

"Kak Musa ternyata dekat juga sama Kak Putri."

Suara Bella lirih, namun dari nadanya Ajeng mampu mendengar ada getaran di sana. Berikutnya Ajeng menyodorkan lembaran tisu yang ia keluarkan dari saku roknya.

"Nih, lap dulu air mata lo yang tumpah-tumpah," kata Ajeng.

Bella semakin menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan di atas meja. Ada sesak yang sulit sekali hilang dari hatinya. Semakin lama, setiap kali ia ingin melupakannya, sesak itu justru ingin abadi.

"Kemarin pas kita lagi jalan, tiba-tiba Kak Musa pamit sama gue. Katanya, ada urusan penting, Jeng. Lo tahu apa? Pas gue akhirnya mutusin buat pulang, di jalan gue lihat dia pelukan sama Kak Putri yang kayaknya lagi nangis. Ajeng, di sini gue kalah kah?"

Ajeng tak menjawab. Ia hanya menunggu Bella benar-benar menyudahi ceritanya. Seandainya Bella adalah lelaki, mungkin ia akan merasakan apa yang Adinata rasakan semalam. Tapi, Bella adalah perempuan. Dan sesama perempuan Ajeng jelas tak ingin lebih menyakiti Bella dengan kata-katanya yang tajam.

"Lo tunggu aja sampai Kak Musa minta maaf dan jelasin kenapa kemarin ninggalin lo."

"Dia gak chat gue sampai hari ini, Jeng, setelah kemarin."

"Ya udah gak apa-apa. Gak semua cerita tentang jatuh cinta akhirnya adalah bersama."

Kemudian Emi tiba membawa setumpuk buku tentang Biologi. Menaruhnya di tengah-tengah meja. Tatapan Emi dingin, kini lurus pada Bella yang sudah menangis dalam diam.

"Gue bilang apa kemarin. Kalau suka sama orang, jangan sampai orang itu tahu kalau kita lagi suka sama dia. Nanti dia jadi semena-mena," katanya dengan nada kesal.

Bahkan Ajeng sampai menyenggol lengan Emi untuk jangan dulu berkata seperti itu. Tapi, Emi tetaplah Emi. Tak peduli kamu sahabatnya atau bukan. Jika menurutnya kamu salah, kamu akan tetap salah di matanya.

Tapi, bukankah perkara jatuh cinta, tidak selalu orangnya yang salah, ya?

"Udah, ya, mending kita bahas pelajaran aja. Walau bikin pusing, tapi gak sampai bikin nangis darah," lanjut Emi mulai membaca buku-buku itu satu-persatu.

Ajeng masih diam. Walau tangannya ikut meraih salah satu buku yang Emi bawa, sepasang matanya tetap difokuskan pada Bella. Ada perasaan kasihan yang banyak melihat Bella seperti itu di hadapannya. Sebuah situasi yang tak akan mampu jika Bella harus menghadapinya sendiri.

"Gimana kalau nanti pas pulang kita mampir ke toko pelangi?" usul Ajeng berikutnya.

Bella menegakkan tubuh. Menyeka sudut-sudut matanya. Bahkan kini gadis itu sengaja membawa kacamata hanya untuk menutupi matanya yang bengkak. Emi menoleh kecil, mengangkat alis di sebelah Ajeng.

"Ya, jalan-jalan. Katanya, gue dengar dari anak-anak, kalau toko pelangi itu menyediakan semuanya mulai dari alat tulis, perintilan lucu-lucu kayak kalung dan gelang, terus katanya di sana juga ada banyak makanan ringan," ucap Ajeng bersemangat.

about youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang