15. hari mengenang paling panjang

12 1 0
                                    

15. hari mengenang paling panjang


Bus biru itu berhenti, ia jadi bus terakhir yang tiba di sekolah Taruna Bangsa. Banyak murid-murid yang kemudian keluar dari sana. Mereka berbondong-bondong berebut masuk ke dalam area sekolah, sebab upacara hari Senin tak lama akan dilaksanakan. Mungkin, Ajeng jadi orang terakhir yang keluar. Bahkan Aldi dan Adinata sudah berjalan lebih dulu di sisi tubuh Fariz. Sejak tadi, Ajeng menggerutu karena ditinggalkan sendirian, tapi berikutnya gadis itu bergegas mengejar mereka.

Degup jantungnya pagi itu tak berjalan normal. Ada lebih banyak rasa kesal yang membelenggunya, membuat seminggu terakhir ini hari-harinya terasa menyebalkan.

"Gue laporin Fahmi—"

"Ajeng!" potong Aldi, menegur agar gadis itu tak lagi membawa-bawa nama Fahmi dalam percakapan mereka.

Fariz tak menggubrisnya. Ia berjalan lurus seolah tak peduli jika Ajeng merasa semakin kesal karenanya. Sementara, Adinata kini jadi satu-satunya orang yang memilih berjalan beriringan dengan Ajeng. Dari tempatnya, Adinata menebak, pasti ada begitu banyak kekosongan di ruang hati Ajeng usai kepergian Fahmi. Semuanya di sana pasti sangat berantakan, tapi Ajeng juga harus tahu, bahwa bukan gadis itu saja yang merasa seperti ini, mereka juga sama. Mereka sama-sama merasa kehilangan.

"Biasanya, kalau semua orang ganggu gue, Fahmi akan datang buat hibur gue, tapi sekarang Fahmi udah gak bisa hibur gue lagi."

Ajeng terus saja berbicara, tak peduli apakah Adinata mendengarkannya atau tidak. Langkah panjang Ajeng dibawa menyusuri koridor lantai bawah kelas mereka. Tatapannya berubah tak terbaca. Bahkan dari raut wajah yang gadis itu tampilkan seolah menegaskan pada siapa saja untuk tak menyapanya.

"Bumi jadi sepi setelah lo pergi, Fahmi," lirihnya, lantas melempar tas ranselnya begitu saja.

Tak lama, Ajeng keluar lagi, lengkap dengan perlengkapan upacara, meninggalkan Adinata, Aldi, dan Fariz yang kini jadi saling tatap menyaksikan perubahan Ajeng yang begitu drastis, dan mungkin mereka juga.

"Buruan ke lapangan, nanti panitia upacaranya marah-marah kalau kita gak cepat-cepat ke sana," kata Aldi, mengekori kepergian Ajeng begitu saja.

Mungkin, kehilangan Fahmi masih jadi satu-satunya luka yang mampu menyakiti mereka. Ia pergi membawa seluruh kenangan yang begitu panjang. Pada sebuah hilang yang kini turut merenggut berbagai mimpi yang pernah mereka gaungkan, sepertinya sebagian hati mereka juga ikut-ikutan hilang.

Fariz menundukkan kepala. Seminggu sejak kepergian Fahmi, ia bahkan tak pulang ke rumah. Apalagi ketika kedua orang tuanya memutuskan menetap di luar kota, hidup Fariz di kota ini semakin kehilangan arah, sebab nahkodanya sudah tak ada. Alhasil, seminggu terakhir ini Fariz tinggal di rumah Adinata.

Tangan Adinata menepuk pelan bahu Fariz. Bahkan dari tatapannya saja, Adinata tahu jika ada terlalu banyak sakit yang tak mampu tersuarakan oleh laki-laki ini.

"Kita masih harus melanjutkan hidup," ucap Adinata.

Setelahnya, Fariz hanya bisa menghela napas berat, mengikuti jejak pergi sahabat-sahabatnya. Pikirannya masih belum mampu ia tata, bahkan sekedar memikirkan bagaimana dirinya ke depannya, Fariz tak berani. Benar kata Adinata, mereka masih harus melanjutkan hidup. Bumi masih berputar dan langit masih membiru. Tak peduli sedalam apa luka yang tenggelam di hati mereka, hidup tetap jadi perjalanan panjang yang tak tahu kapan usainya. Maka, sebelum akhirnya mereka menyusul Fahmi ke tempat yang jauh itu, mereka tetap harus melewati hari demi hari, seperti sebelumnya.

Sebab, Fahmi hanyalah manusia yang perannya bisa dengan mudah digantikan oleh manusia lainnya—walau bumi tidak akan menghadirkan Fahmi dua kali.


about youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang