22. jika kamu bersedih

16 0 0
                                    

22. jika kamu bersedih

Dua puluh empat jam usai ia resmi menerima pernyataan cinta Alaska, selama itu juga laki-laki itu belum muncul di hadapannya. Sekarang, Ajeng sudah boleh bertanya-tanya tentang hilangnya, Ajeng sudah boleh peduli tentang ketidakhadiran Alaska di Taruna Bangsa.

"Dia ke mana, sih."

Bella dan Emi yang menyaksikan Ajeng sejak tadi menyapu bersih pandangannya di kantin, hanya bisa menghela napas bersama.

"Kan, sudah gue bilang, nerima Alaska sama dengan merusak kebahagiaan lo."

Lengan Bella langsung disenggol keras oleh Emi, menyuruh sahabatnya itu tak ikut campur tentang hubungan Ajeng dan Alaska terlalu jauh. Karena, mau seberhak apapun, mereka hanya orang asing di ceritanya. Walau punya peran, tetap saja, mereka bukan tokoh utama.

"Positif thinking aja, mungkin Alaska lagi sibuk."

Ajeng menghembuskan napas panjang. Mengaduk-aduk kuah baksonya dengan tatapan sendu. Tak pernah terbayangkan di benak Ajeng jika di awal hubungan mereka, Ajeng sudah sedih saja.

Sebenarnya, Alaska ke mana?

Kenapa tak mengabari Ajeng tentang perginya?

"Kalau semua manusia peka, gak mungkin kita tahu ada jenis perasaan lain selain jatuh cinta."

Suara Emi mengudara. Bella dan Ajeng yang duduk di seberangnya menoleh kompak.

"Khawatir, misalnya." Emi menarik napas cukup panjang, menatap sepasang mata Ajeng dalam, kemudian kembali melanjutkan kalimatnya. "Alaska juga sama kayak kita, mau sehebat-hebatnya dia, dia pasti punya titik lelahnya. Alaska pasti juga berpikir dengan baik kenapa sampai memilih keputusan gak ngabarin lo sampai detik ini."

Bella sudah ngomel-ngomel sendiri, tapi entah kenapa mendengar penuturan dari Emi, hati Ajeng jadi sedikit lega. Mungkin benar, sehebat-hebatnya Alaska, laki-laki itu selalu punya titik lelahnya. Mungkin, kali ini dengan tidak melibatkan Ajeng terlebih dahulu, adalah keputusan paling bijak yang mampu Alaska pilih.

Menyampingkan tentang Alaska, Ajeng memilih cepat-cepat menghabiskan makanannya. Sebab, usai istirahat pertama, mereka harus beranjak ke ruang ekstrakulikuler sekolah. Ada banyak hal yang harus mereka urus di sana. Tentang sebuah usaha mencukupkan waktu muda dengan sebaik-baiknya, juga sebuah usaha menghabiskan waktu sebelum libur semester tiba.

Mungkin benar, mungkin Alaska butuh waktu untuk menyusun kembali rencana-rencananya. Dan jika benar begitu, Ajeng akan jadi orang pertama yang membiarkan doanya melangit, bahkan jika bisa, biarkan saja doa itu melintas cukup jauh di angkasa.

...

Tidak ada yang berubah dari langit-langit rumah besar itu, serta raut wajah tegas dari para menghuninya. Mungkin, satu-satunya wajah yang pagi itu datar hanyalah milik Alaska. Tak pernah ada warna di wajah anak itu jika dihadapkan oleh keluarganya. Di seberang Alaska, Citra diam-diam meremat jemarinya, tatapannya lurus ke bawah, tajam.

"Di try out terakhir, kamu gagal jadi peringkat pertama. Sebenarnya, di sekolah kamu ngapain aja, Alaska?"

Nada itu tak pernah berubah. Selalu saja ada amarah yang mengudara bersamanya. Mama mungkin hanya bisa marah-marah dan tidak terima, tapi Alaska jelas lebih marah dan tidak terima setiap usahanya membanggakan mereka tak pernah berarti apa-apa.

Bukankah memang tak pernah ada yang namanya abadi di bumi? Semua hal di muka bumi ini tidak pasti. Selalu ada kurang dan lebih. Besar dan kecil. Tidak bisa jika harus berat sebelah. Dan sayangnya, sepertinya kedua orang tuanya tak pernah mengerti tentang konsep itu selama jadi manusia.

about youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang