5. ketika hati tidak punya naluri

9 3 0
                                    

5. ketika hati tidak punya naluri



Alastair Kalendra pagi itu duduk diam sambil menyangga dagu di deretan kursi paling depan kelas X B, tatapannya lurus pada papan tulis putih yang kosong di sana. Sungguh, kenapa tak pernah ada sambutan baik tentang gadis itu terhadapnya? Bahkan semesta seolah merestui penolakan gadis itu secara cuma-cuma.

"Diajeng Anantari Ilham," gumam Alaska mengingat nama gadis itu.

Kalau dipikir-pikir, di antara banyaknya murid Taruna Bangsa, hanya Alaska saja yang terlihat punya ketertarikan pada Ajeng. Tapi, walau tak punya saingan begini kenapa hati Ajeng tingkat kesulitannya tinggi sekali untuk dimenangkan? Kenapa Alaska seperti sudah kalah telak sejak awal? Ke mana perginya semangat menggebu miliknya yang kemarin itu?

"Tuh, Alaska, tuh. Dia tadi yang robek kertas lo."

Di belakang Alaska, Arya sedang ribut dengan Bella. Sorot mata Arya yang menyala-nyala, seolah mengatakan pada Bella bahwa ia bukanlah pelaku perobekan buku miliknya, tapi Bella tetap tak percaya.

"Tapi buku gue di meja lo, Arya! Gak usah nuduh-nuduh orang lain deh kalau jelas-jelas lo tersangkanya," balas Bella semakin sengit.

Bagian tengah kelas itu dikuasai penuh oleh mereka berdua, Alaska sampai menoleh dan menggeram kesal mereka ribut tepat di belakangnya.

"Rame bener," gumam Alaska, menatap lurus buku yang kini digoyang-goyangkan Bella tepat di depan wajah Arya.

"Bell, itu tadi buku lo?"

"IYA. KENAPA NANYA-NANYA?"

Alaska menggeleng kaku. Sementara Arya langsung mengumpat kasar saat Alaska lari dari masalah yang ia ciptakan.

"Bell, sumpah bukan gue. Lagian cuma selembar kertas doang."

"Tetap aja lancang."

Arya sampai menarik dirinya ke belakang. Sorot mata Bella yang menyala-nyala pagi itu sukses membuat Arya mati kutu, Alaska bahkan kini sudah tak ada di kelas itu, benar-benar luput dari radarnya tiba-tiba.

"Gue ganti."

"Deal!"

Alaska menghela napas lega di depan pintu kelas. Menyudahi kegiatan mengintip penyelesaian masalah buku itu dan kini menegakkan tubuhnya, siap untuk berkelana pada sepenjuru koridor lantai X.

Tatapan Alaska mengedar. Ia berhenti di sudut teras kelas X A, mungkin Alaska akan memulainya dari sana.

"Sial deg-degan," gumam Alaska mulai mengambil langkah pertama.

Laki-laki dengan pakaian yang super rapih, juga proporsi tubuh yang tinggi tegap—benar-benar enak dipandang itu—sesekali menyapa wajah-wajah baru Taruna Bangsa.

"Alaska. Mampir, Al."

Alaska menoleh pada bagian dalam kelas X A, membalas sapaan temannya dulu di sana, Indah.

"Nanti ke sini lagi."

"Mau ke mana?" tanya Indah, berlari-lari kecil ke tempat Alaska berpijak.

Alasnya menarik sudut-sudut bibirnya. Mungkin, pagi itu matahari pun kalah dengan senyum milik Alaska. Di tempatnya, Indah tertawa.

"Berkelana, Ndah. Mau ikut?"

Sejenak, Indah melebarkan mata, tapi detik berikutnya hanya mampu menggeleng saja.

"Gak deh, takut jadi gosip kalau jalan sama raja mos haha," balas Indah dengan nada becanda.

Alaska berdecak, menyenggol lengan Indah, berikutnya pamit pada gadis itu untuk melanjutkan misinya menjelajahi seluruh sudut-sudut kelas X.

about youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang