24. seandainya bukan aku
Siang itu, untuk kesekian kalinya Ajeng terlambat datang di hari Senin sekolah. Ketika untuk ke sekian kalinya juga alasan Ajeng lambat adalah karena bangun kesiangan, dan Fariz, Aldi, bahkan Adinata tak menjemput ke rumah mentang-mentang kini Ajeng sudah memakai kendaraan jika berangat ke sekolah.
Tak ada tukang ojek yang Ajeng salahkan lagi karena keterlambatannya, dan sial sungguh sial, Ajeng kembali dikunci di luar gerbang besar Taruna Bangsa. Garis wajah Ajeng terlihat semakin mendung, apalagi saat langit pagi itu mulai menampakkan hitam pekatnya. Juga, ketika di sana tak lagi ada Alaska yang dengan suka rela menemaninya dihukum, sebab kini—seperti penyampaian Alaska semalam di chat, bahwa laki-laki itu izin untuk menghadiri pemakaman saudaranya, membuat hari Senin Ajeng kali ini akan terasa semakin berat saja.
"Langit jahat sama gue, Ka. Gue gak diizinin lihat matahari pagi ini," monolog Ajeng seraya menyandarkan tubuhnya di tepi gerbang dengan raut wajah yang kian memias.
Seminggu berlalu sejak awal semester usai penerimaan siswa baru. Hari di mana harusnya Ajeng memulainya dengan banyak canda tawa, tapi justru berakhir dengan hal yang sama sekali tidak bahagia. Dan benar, ini adalah minggu kedua setelah Alandra resmi jadi murid Taruna Bangsa, sepertinya.
"Langit lebih jahat sama gue, Jeng. Karena gak mengizinkan lihat bidadari ceria."
Suara itu menyadarkan Ajeng dari lamunan panjangnya. Sebuah suara asing yang menggemakan kalimat ambigu untuknya. Detik itu, Ajeng menoleh cepat. Dahinya berkerut usai mendapati sosok Shaka berdiri dari dalam gerbang besar sekolah mereka. Senyum laki-laki itu semakin melebar, seraya menunjuk-nunjuk sesuatu yang kini ia tenteng di tangan kanannya tinggi-tinggi.
"Gue cuma melaksanakan amanah Alaska. Katanya, jangan sedih. Jangan karena satu hari gak berakhir baik, bukan berarti seluruh hidupmu buruk."
Ajeng tersenyum canggung. Menerima sodoran kertas yang dilipat kembali oleh Shaka usai membacanya.
"Makasih. Alaska memang ada-ada aja idenya."
"Hahaha bener. Tadi si Alaska pagi-pagi ke rumah gue nitipin ini untuk antisipasi kalau hari Seninnya bidadari gak berjalan dengan baik."
Kedua pipi Ajeng memerah. Merasa geli mendengar kata 'bidadari' diucapkan oleh selain Alaska untuknya.
"Jangan panggil gue bidadari!" Ajeng berbicara lirih, tapi berikutnya kembali menatap Shaka dengan sorot mata tak terbaca.
"Kapan Alaska balik?" tanya Ajeng lagi.
"Cieee. Nungguin, ya?" balas Shaka, menyebalkan.
Kalau tidak mengingat laki-laki ini adalah sahabat Alaska, sudah pasti Ajeng akan mengumpatinya detik itu juga.
"Gue serius, Shaka!"
"Cie udah akrab sama gue. Pasti Alaska sering cerita tentang teman-temannya, ya?"
"Kepedean!"
"Kenalin, gue Arshaka Keenandra Aditya, sahabat Alaska yang paling tulus di Taruna Bangsa," ujar Shaka, menyodorkan tangan kanannya, memperkenalkan diri untuk kedua kalinya.
Ajeng memutar bola matanya malas. Sebuah kalimat yang sama yang dulu pernah Ajeng dengar di hari MOS angkatan mereka tahun lalu. Ah, Ajeng jadi curiga, jangan-jangan dulu Shaka sengaja menabraknya?
"Sudah kenal," balas Ajeng, enggan menjabat tangan Shaka.
Shaka memandangi tangannya, berikutnya tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
about you
Fiksi Remajaketika namamu mulai memudar, dan aku sudah tidak bisa lagi membuatnya abadi, tolong bisikkan pada daun yang jatuh bahwa di manapun kamu berada, kamu baik-baik saja. kita adalah pernah yang tak punya banyak episode untuk bersama. kita adalah sepasang...