Natha mengusap wajahnya kasar, perasaannya tidak tenang sedari tadi. Belum lagi, hidungnya yang memerah. Rasa gatal yang dirasakan membuatnya ingin mencopot hidungnya kalau bisa.
"Ih, nyebelin banget," keluh Natha lalu bersin-bersin. Sudah kesekian kali dia mengucek hidungnya dengan kasar. Kepalanya terasa berat, belum lagi perasaan kesal yang tidak kunjung menghilang. Dia masih teringat kejadian menyebalkan saat dia membantu temannya di bagian pendaftaran.
Natha menatap lurus ke depan, dengan tatapan super tajam dan bibir manyun. Rambutnya diurai, wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya, belum lagi aura penuh amarah yang keluar darinya, membuat teman-temannya enggan menyapanya.
"Ya ampun, jutek banget itu muka. Kenapa, sih, Neng?"
Natha melirik kesal ke arah cowok tengil yang datang mendekat lalu menepuk pundaknya keras. "Kenapa, sih? Aku baru datang dengan penuh senyuman, kamu malah memulai hari dengan cemberut. Jangan gitu, dong. Sini cerita sama Abang Wen. Dijamin semua masalah tidak akan selesai, malah bertambah," kelakarnya.
"Nyebelin, pergi sana. Aku lagi mogok ngomong," tandas Natha lalu membuka tumbler berisi teh manis hangat kesukaannya.
"Iya, deh. Yang katanya mogok ngomong tapi masih ngomong juga," sarkas Wen lagi. Mereka selalu seperti ini, beradu debat dan mengejek satu sama lain. Tapi, tidak ada niatan untuk menyakiti satu sama lain, hanya ingin menghabiskan waktu dengan berkelahi saja.
Natha melirik sekilas ke arah Wen lalu memutar bola matanya malas. Meladeni Wen hanya akan membuang-buang energi saja. Di saat seperti ini, dia sudah hampir kehabisan tenaga padahal hari baru saja dimulai.
"Tumben situ ceria amat hari ini. Ada apa? Ketemu cewek cantik?" tebak Natha masih dengan nada kesal.
Mendengar pertanyaan Natha mengundang gelak tawanya, "Ih! Pintar ya, Anda! Iya, nih. Kemarin ketemu cewek cantik banget, Nath. Aku jarang banget ketemu cewek yang rupa dan caranya merespon itu sesuai dengan apa yang aku inginkan dan doakan. Jangan-jangan ini jawaban Tuhan untuk doaku selama ini kali, ya?"
Wajahnya sumringah, matanya menyiratkan kebahagiaan, bersinar memancarkan harapan dan sukacita berbanding terbalik dengan pancaran mata Natha yang meredup. Dia hanya berniat menggodanya saja tadi, tidak mengira jika pertanyaan ini akan menjebak dirinya sendiri. Natha merengutkan dahi lalu memanyunkan bibir. Terlihat kerutan di dahinya, rasa nyeri menjalar dalam dirinya begitu melihat betapa bahagianya Wen menceritakan gadis itu.
"Memang apa kriteriamu?"
Wen menyerigai kesenangan, "Aku berdoa untuk cewek yang seiman dan seamin, takut akan Tuhan, sayang keluarga, cantik lahir dan batin, tidak sombong, bisa diajak bicara dan tukar pikiran. Yah, kurang lebih gitu, sih, Nath. Kenapa emang?"
Menyadari raut kekecewaan dari Natha membuat Wen ikut mengerutkan keningnya, heran dengan perubahan sikap dan ekspresi Natha.
"Hmm, cantik, ya?" respon Natha dengan tidak semangat. Sorot matanya tertuju ke layar ponsel, di sana dia memandang pantulan wajahnya. Ada beberapa jerawat, hidung pesek, pipi gembul, badan bongsor, rambut pendek bergelombang dan kulit yang bergelambir karena lemak-lemak.
"Kenapa, sih? Kamu kayak nggak tahu aku aja, Nath. Kalau aku ngincar cewek cantik yang jadi standar cantik di negara ini pasti aku nggak mau dekat sama kamu, Nath. Bikin sakit mata doang. Buktinya aku mau,kan, sama kamu. Jadi teman yang baik dan dekat selama ini. Cantik versiku itu beda. Kamu nggak perlu nge-judge aku kayak gitu," cecar Wen kesal.
Natha memandang Wen dengan tatapan kosong. "Sakit mata ya?" tanya Natha sambil terkekeh pelan.
Wen menghela napas panjang, "Kenapa, Natha? Kamu kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wish- TAMAT
RomantikWen Sidharta hanya ingin mati.Hidup pun percuma, tiap hari Ayahnya semakin tidak tahu diri menyakiti hati ibu. Dia tidak pernah melupakan cinta pertamanya, meninggalkan Wen dan ibu hidup berdua hingga tetangga barunya datang, Natha Maheswari. Berdua...