Airine menggenggam erat jemari Wen. Kepalanya begitu berat, nyeri di pinggang dan punggung begitu menyiksanya. Linu-linu di paha dan nyeri di kepala benar-benar membuatnya ambruk. Namun, dia berusaha bertahan.
Perkataan Elano menamparnya, menyakitkan hingga ke relung hati. Matanya sudah memerah, menangis sepanjang malam hingga air mata tidak lagi bisa keluar.
Dia ingin tidur, ingin marah, berteriak sekencang mungkin, marah dengan Elano yang berhenti berjuang bersamanya, juga marah dengan Dandy yang memilih diam daripada berterusterang jika dia sudah lama mengiklaskan Clairine.
Mereka berdua hanya terjebak dalam ego dan pelarian semata tanpa tahu mereka saling membutuhkan satu sama lain.
"M-ma? Mama kenapa?" tanya Wen sambil menatapnya penuh tanda tanya.
Sejak Wen bangun, Airine hanya mengalihkan pembicaraan dari topik Natha. Airine hanya ingin Wen fokus dengan dirinya saja.
"Hai, sayang. Mama nggak apa-apa. Wen gimana? Kerasa pusing? Mama bisa bantu apa buat Wen?"
"Mama nggak kerja? Mama biasanya sibuk. Dari Wen sadar sampai sekarang mama di sini bareng Wen."
Airine tersenyum, dia sadar perkataan Elano ada benarnya. Dia tidak akan menyadari sesuatu begitu berharga sampai dia hampir kehilangannya.
"Mama cuman mau banyak habisin waktu sama Wen. Mama menyesal sering ninggalin Wen sendirian, sekarang kita sering main bareng ya, Nak?"
Wen tersenyum, dia senang Airine terlihat ada perubahan. Wajahnya tidak terlihat baik, dia masih enggan mengatakan kenyataan kepadanya.
"Ma? Papa mana?" tanya Wen lagi.
Mata Airine membola, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Wen menyadari hal ini dan tertawa pelan. "Kenapa, Ma? Wen tahu, Ma. Wen tahu semua, soal mama dan om Elano. Wen juga tahu soal papa dan tante Clairine."
"D-dari mana kamu tahu? Natha, kah?"
Wen menggeleng pelan. "Anak itu dia tidak pernah mau ngasih tahu, Ma. Diem doang kerjaannya. Cuman yah, kemarin memang kasus khusus, sih. Pas dia ngajak Wen lihat mama sama pria lain, yang ternyata adalah om Elano. Mama, boleh Wen tanya sesuatu?"
Wajah Airine pucat pasi, tidak tahu harus mengatakan apa.
"Ma, mama sayang sama om Elano atau ini hanya pelarian karena mama putus asa dengan sikap papa?"
Airine menggenggam erat jemarinya lalu mulai menangis. Pembicaraan dengan Wen membuatnya semakin sadar dengan perasaan yang dia abaikan. Selama ini dia hanya terjebak pelarian tanpa sadar banyak pihak yang tersakiti karena ini.
"Mama terlalu pengecut untuk mengambil keputusan. Elano memang memiliki tempat khusus di hati mama, sama seperti Clairine bagi Dandy. Mama terus menyalahkan Dandy tanpa sadar mama tidak ada bedanya dengan dia. Maafin mama, sayang. Mama menyesal," ucapnya sambil terisak.
"It is okay, mommy. I still love you. No need to cry anymore, okay?"
Airine menangis semakin kencang sambil mengangguk dan memegang erat jemari Wen. Dia menempelkan genggaman jemari Wen dengan dirinya di dahinya untuk beberapa saat.
Airine sudah cukup lega, lalu melirik ke arah luar. Dia tahu Dandy mengawasinya sedaritadi.
Pintu kamar terbuka, Dandy masih berpakaian rapi dengan ekspresi yang minim, tapi sorot matanya menampilkan sorot mata kerinduan.
"Hai, papa boleh masuk?" tanya Dandy canggung.
Wen dan Airine tersenyum lalu mengangguk bersamaan. Mereka saling berbagi tawa dan cerita, sesekali berpelukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wish- TAMAT
Lãng mạnWen Sidharta hanya ingin mati.Hidup pun percuma, tiap hari Ayahnya semakin tidak tahu diri menyakiti hati ibu. Dia tidak pernah melupakan cinta pertamanya, meninggalkan Wen dan ibu hidup berdua hingga tetangga barunya datang, Natha Maheswari. Berdua...