Wen masih berdiri di tempat dengan wajah pucat dan tangan meremas perutnya dengan kuat. Otot lehernya sudah menegang sedaritadi. Dia masih mengepalkan tangannya kuat, mengunci rapat bibirnya. Padahal dia ingin berteriak marah dengan semua orang, dia benci situasi ini. Dia benci pria belagu yang sialnya menjadi dosen pengganti di kelasnya.
Entah apa yang ada dalam pikiran Bumi Siwi. Entah dia marah beneran atau bersandiwara. Namun, tutur katanya tadi menyakitkan hati Wen. Dia segera melanjutkan aktivitasnya ke ruang UKS yang ada di sana. Dia butuh obat pereda nyeri sesegera mungkin.
"Wen? Are you okay?" tanya Natha pelan.
Wen menggeleng pelan. Natha paham dia dalam kondisi perasaan yang buruk. Dia ingin berdiri dan menjelaskan keadaan pada Bumi Siwi tadi, tapi kakinya seakan terpaku sehingga dia tidak bisa berdiri. Perasaan takut untuk berbicara di depan umum membunuhnya perlahan.
"Wen, kamu mau apa? Aku beliin, deh. Mau roti lapis? Mau nasi fuyung hai? Aku beliin, deh."
Wen mendengkus pelan lalu melepaskan genggaman tangan Natha darinya. "Bilangin ke orang itu, jangan pernah ngomong kalau tidak tahu kebenarannya. Dasar manusia tidak punya hati," makinya lalu pergi ke UKS. Wen butuh obat pereda rasa nyeri, dia ingin istirahat sementara waktu di sana. Rasa nyeri di perutnya semakin menjadi-jadi.
Natha menghela napas, dia mau menemani Wen kemanapun dia pergi. Namun, langkahnya kembali terhenti begitu melihat Amerta meraih lengan Wen dan menemaninya berjalan. Rasa nyeri kembali menjalar di dada Natha. Dia tidak suka pemandangan ini.
"Aku nggak pernah siap dengan pemandangan ini, Wen. Kukira kamu nggak akan kepincut sama cewek cantik, ternyata aku salah. Kamu sama aja dengan cowok lain. Sial," ujarnya pelan lalu kembali ke kelas.
Di tengah jalan, Bumi mendekati Natha dan memintanya ke ruangannya.
"Natha, ayo ke ruangan saya. Jangan ada bantahan," titahnya lagi. Natha memanyunkan bibirnya, kesal dengan perbuatan Bumi pada Wen tadi. Dia tidak menjawab ucapan Bumi, hanya mengikutinya dari belakang.
Mereka sudah berada di dalam ruangan, Bumi segera memberikan Natha obat pereda nyeri. "Ini obat anti nyeri. Kamu bisa kasih itu ke temanmu yang pemarah tadi."
"Hah? Maksudnya Wen?"
Bumi merengut heran. "Kok malah nanya, sih? Kamu nggak lihat dia kesakitan tadi? Ini makanya om ngasih obat, kamu bisa kasih ke dia. Om pikir mungkin dia ada di UKS. Agak merasa bersalah juga tadi, ngelihat dia buat om keingat sama hubungan terlarang mamanya dengan papamu. Hubungan mereka malah buat kamu dalam kondisi yang sulit, Natha. Semakin rumit karena kamu suka sama dia. Kalau mereka tetap mempertahankan hubungan itu, kamu harus merelakan perasaanmu untuk anak itu."
Natha tersenyum tipis. "Aku tahu resikonya, om. Om tahu dia ada masalah dengan ginjalnya, dia sedang menunggu pendonor ginjal. Besok jadwalnya dia buat kontrol ke dokter, aku mau temani dia besok."
Bumi mengangguk paham. "Yah, lakukan sesuka hatimu. Kenapa melapor gitu?"
"Aku mau om tahu," jawabnya sambil cengengesan.
Pria itu mendengkus kesal. "Oh iya, kemarin kamu diajak jalan sama Airine dan Elano, kan? Gimana? Seru?"
Natha tersenyum tipis. "Seru. Tante Airine bukan orang asing buatku, dia mamanya Wen. Tentu saja aku nyaman bersama dia. Lagipula apapun yang buat papa bahagia akan buat aku bahagia juga, om. Jadi, om tenang aja."
"Terus, soal Wen gimana? Mau sampai kapan kamu simpan rahasia ini?"
Natha menatap lurus ke lantai, matanya berkaca-kaca membayangkan raut wajah kecewa dari cowok kesayangannya ini. "Hari Sabtu ada ajakan dari tante Airine lagi. Ada papa juga nanti dan aku minta Wen buat datang ke kafe Radinka, tempat pertemuannya. Apapun yang akan terjadi, aku sudah siap. Dia berhak marah, dia berhak memutuskan hubungan pertemanan dengan Natha."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wish- TAMAT
RomanceWen Sidharta hanya ingin mati.Hidup pun percuma, tiap hari Ayahnya semakin tidak tahu diri menyakiti hati ibu. Dia tidak pernah melupakan cinta pertamanya, meninggalkan Wen dan ibu hidup berdua hingga tetangga barunya datang, Natha Maheswari. Berdua...