Elano meremas bajunya erat, dia sudah tahu dengan sikap Airine dan perlakuannya ke Natha. Dengan mata memerah, dia berjalan ke arah Dandy dan Airine.
Sepasang suami istri ini tidak saling bertegur sapa walaupun duduk berdekatan.
Setiap langkah Elano terasa begitu berat, rasa nyeri semakin menjadi-jadi. Besar harapannya untuk hidup bersama Airine, tapi dia tidak sanggup melihat perlakuan Airine kepada Natha. Begitu menyakitkan.
Elano masih mengenakan jaket bertudung dan topi, membuat Airine tidak mengenali dirinya.
Airine menatap heran ke arah pria bertudung ini hingga dia melepaskan tudung itu.
Ekspresinya langsung berubah, dia khawatir dengan mata sembab, hidung Elano yang memerah.
"Lano? Kamu ngapain pake tudung kayak tadi? Aku jadi nggak ngenalin kamu tahu," omelnya sambil mengambil tisu dari tas dan mengelap wajah Elano.
"Airine," panggilnya pelan. Elano memejamkan mata, menikmati sentuhan pada pipinya. Membiarkan Airine menyalurkan kehangatan melalui usapan singkat ini.
Kalau bisa, dia ingin menghentikan waktu barang sebentar saja. Dia ingin hidup lebih lama lagi bersama wanita pujaan hatinya. Sayangnya, semua kembali seperti dulu, mereka adalah sebuah hal yang mustahil.
"Iya, Lano?" Airine hanya fokus pada Elano, membiarkan Dandy menatap keduanya dengan tatapan yang tidak bisa dia artikan.
"Terima kasih sudah menerimaku, terima kasih sudah membuat harapan dan semua perandaianku menjadi nyata," ucapnya sambil menggenggam erat tangan Airine.
Badan Airine menegang, matanya membola dan dan keningnya berkerut. Terlihat jelas tanda tanya dari sorot matanya. Namun, dibalas dengan sorot mata kesedihan dari Elano.
"Kita sampai di sini aja, Airine. Kembalilah dengan Dandy, dia mencintaimu. Sudah lama, hanya saja kalian kurang komunikasi dan mendahulukan emosi."
Airine menyentakkan tangannya, ingin melepaskan genggaman tangan mereka. Namun, Elano tetap memegang erat tautan jemari mereka. Sedikit lagi, sebelum mereka kembali menjadi dua orang asing untuk selamanya.
Airine mendelik kesal. "Tahu apa kamu, Lano? Dia bahkan masih kembali ke panti asuhan, tempat yang Clairine bangun! Tahu apa kamu soal Dandy!" pekiknya kesal.
Dandy memijat keningnya, kepalanya sudah sakit sejak mengetahui Wen pingsan. Kepalanya semakin pusing karena adu mulut dengan Airine, sekarang dia harus mendengar keributan kesekian kalinya dari Airine.
"Behave, Airine. Ini di rumah sakit bukan kebun binatang," tegur Dandy kesal.
"Ck, masih aja nyelekit kalau ngomong," gerutu Airine kesal.
Elano tersenyum, dia tahu dua orang ini masih saling menyayangi. Mereka hanya terjebak dalam ego, penyesalan, sakit hati, dan pelarian.
"Airine, kamu akan selalu punya tempat spesial di hatiku. Tapi, aku akan mencoba merelakanmu. Kembalilah ke Dandy, jangan lagi lampiaskan kesepianmu dengan pelarian semacam ini, tidak baik, Airine. Wen butuh kedua orangtuanya, begitu juga dengan Natha butuh aku."
Kali ini Airine menggenggam erat jemari Elano, enggan melepaskan barang sedetik pun.
"Aku juga butuh kamu. Kamu tahu itu, Lano," bisiknya lagi.
Elano menatap Dandy dengan sendu dan berurai air mata.
"Kamu bisa tanpa aku, kita adalah sebuah kesalahan, Airine. Cukup, kembalilah ke keluargamu, kendalikan emosimu dan jaga mereka," ujarnya sambil melepaskan genggaman Airine padanya.
Kali ini harus diselesaikan dengan benar dan jelas. Dia tidak bisa membiarkan Airine dan dirinya hidup dalam bayang-bayang masa lalu dan harapan bisa bersama.
Pada akhirnya mereka akan dihadapkan pada akhir yang sama, perpisahan.
"Satu lagi, Natha sangat berarti untuk aku. Dia anakku satu-satunya dan dia mencintai anakmu, Wen. Dia bahkan merelakan cintanya demi kita bisa bersama, Airine. Aku mohon, jangan sakiti dia karena menyakiti dia sama aja dengan menyakitiku," ujarnya sambil terisak.
Airine menganga menatap Elano, "K-kamu tahu darimana?"
Elano menghela napas panjang, berusaha meraup kesabaran dan kekuatan sebanyak mungkin.
"Aku punya mata, Airine. Aku juga punya telinga, masih bisa dengar keluh kesah anakku, bisa juga lihat gimana kamu memperlakukan dia. Tidak ada rahasia yang bertahan lama, Airine. Kamu tahu itu, kan?"
Wen terduduk lemas, dia tidak tahu Natha memyimpan semua ini darinya. Dia tidak tahu kalau masih ada yang menderita selain dirinya, dan dia malah memarahinya seperti itu.
"Lano, aku nyesel. Tolong jangan sudahi hubungan ini. Natha udah relain hubungan dia dan Wen, dia udah setuju dengan hubunganku dengan kamu, Dandy juga udah setuju untuk bercerai denganku. Kenapa kamu menyerah? Kenapa?"
Badan Airine gemetar, matanya memerah. Dia larut dalam kekalutan dan ketakutan akan perpisahan.
"Airine, mau sampai kapan membohongi diri sendiri? Mau sampai kapan menutup mata dan telinga?"
Dandy hanya menatap keduanya, dia tahu ini hal yang berat karena melibatkan perasaan dan harapan di dalamnya.
"Kita sama-sama sadar kita hanya menemui jalan buntu. Kita sudahi saja, ya? Aku sayang kamu Airine, aku menikmati setiap detik yang kuhabiskan waktu denganmu. Aku tahu kamu merindukan keluarga kecilmu, kamu sayang sama Wen dan merindukan kehadiran Dandy. Kamu belum terlambat untuk memperbaiki semua ini. Jaga Wen dan Dandy, Airine. Mereka jauh lebih berharga dari yang kamu kira."
Wen mendengar semua percakapan ini, terasa begitu nyata hingga dia tidak lagi bisa mendengar ucapan Elano dan Airine. Dia hanya melihat tatapan sendu Dandy, tatapan yang setia untuk Airine, mamanya. Lalu, semua kembali menjadi putih.
Sayup-sayup dia mendengar isak tangis di dekatnya. Ada seseorang yang menggenggam tangannya erat.
"Wen, bangunlah. Aku kangen kamu, kamu harus sehat. Aku nggak akan melawan lagi, aku akan hidup sehat dan makan sayur sesuai perkataanmu. Aku mohon, bangun," isaknya sambil mengusap punggung tangan Wen pelan.
Dia kenal dengan suara ini, dia juga merindukannya. Wen ingin meresponnya tapi badannya sulit digerakkan, suaranya tercekat, tenggorokannya begitu kering.
"Kamu akan menjalani operasi donor ginjal, Wen. Akhirnya harapanmu tercapai, Amerta juga sering jenguk kamu. Kamu pasti senang, kan? Kamu akhirnya menemukan gadis cantik yang sesuai kriteriamu."
Cukup lama hening menemani hingga dia kembali berucap.
"Sebaiknya aku pergi, aku takut kehadiranku hanya akan memperburuk kesehatanmu. Wen, maaf karena aku hanya berani mengatakan ini di saat kamu sedang tidur. Aku mencintaimu."
Seusai itu senyap kembali menyelimuti kesepian. Dia terus berusaha menggerakkan badan dan membuka matanya. Dia menggerakkan salah satu jari, untuk menyadarkan orang lain jika dia sudah sadar.
"Wen? Sayang?" ucap seorang wanita dengan nada bergetar. Dia terus mengusap wajah Wen dan mengusap tangan Wen dengan tangannya yang lain.
Wen terus berusaha hingga dia menyadari kehadiran wanita yang terus memandangnya dengan tatapan sendu, kerutan di keningnya semakin bertambah dari terakhir kali dia melihatnya.
"M-ma?"
"Iya sayang, mama di sini, Nak," balas Airine dengan mata memerah. Dia tidak pernah merasa sebahagia ini melihat Wen terbangun dari tidurnya.
"Natha mana, ma?"
Airine menegang dia tidak tahu Natha begitu berarti bagi Wen. Senyum kaku di wajah Airine membuat badan Wen merinding, dia semakin takut dia akan kehilangan Natha selamanya.
-Bersambung-
Jumlah kata: 1407
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wish- TAMAT
RomanceWen Sidharta hanya ingin mati.Hidup pun percuma, tiap hari Ayahnya semakin tidak tahu diri menyakiti hati ibu. Dia tidak pernah melupakan cinta pertamanya, meninggalkan Wen dan ibu hidup berdua hingga tetangga barunya datang, Natha Maheswari. Berdua...