Waktu seakan berjalan dengan begitu cepat, mereka sudah sampai di tempat acara gedung serba guna dalam hotel. Tempat ini masuk dalam kategori hotel mewah dengan fasilitas yang bagus. Natha sering mendengar reviu bagus tentang hotel ini.
Langkah demi langkah terasa begitu berat. Degup jantungnya begitu berisik, Natha tidak lagi bisa fokus dengan perkataan yang disampaikan Elano. Pikiran dan perasaannya membuatnya semakin lemas dari waktu ke waktu.
Dia tidak pernah mengira hari ini akan datang, hari dimana Wen akan bertemu dengan Elano bersama dengan mamanya, Airine.
"Nak? Ada apa? Kamu kok pucat gitu?" tanya Elano lagi sambil menepuk pundak Natha. Dia tahu anaknya sedang larut dalam lamunan.
"Ah, i-iya pa. Natha oke, kok. Papa tenang aja," balas Natha sambil mengacungkan jempol. Elano menghela napas panjang.
"Papa kenal Natha dari kamu baru lahir sampai sekarang, papa tahu kapan kamu bohong dan kapan kamu jujur, Nak. Kamu tidak perlu berbohong untuk membuat papa tenang. Tapi, papa hargai keputusanmu. Kalau kamu sudah merasa tidak sanggup, kamu harus ingat kalau kamu tidak sendirian, Nak. Ada papa di sini, papa ada buat Natha."
Natha mengangguk paham. "Iya, pa. Natha paham, papa tenang aja,"balasnya lagi. Perasaan dan pikiran yang kacau menguras energinya, tapi dia tetap harus melalui hari ini untuk menghadapi hari selanjutnya.
"Nak, papa sudah pakai topeng seperti yang kamu mau. Tidak ada masalah karena semua pria yang datang mengenakan topeng juga, ini karena bantuan Airine. Semoga hal ini bisa membantumu untuk sedikit lebih tenang, kita hadapi hal ini bersama-sama, ya?" ujarnya sambil mengusap punggung Natha. Elano tahu apa yang dipikirkan anaknya, meskipun Natha tidak terus terang tentang hal itu.
"Iya, pa. Oh iya, ini siapanya tante Airine?"
Airine mendengar namanya disebut langsung menyamakan langkah kakinya dengan Natha dan tersenyum lebar. "Adik kesayanganku yang mengadakan anniversary pernikahan, dia hanya mengundang keluarga saja. Dia hampir mirip dengan kamu, lebih suka privasi terjaga dan ingin merayakan hal-hal penting dengan keluarga saja. Dia itu tante yang disayangi Wen juga, tidak terlalu kepo dan ikut campur dalam urusan pribadi orang lain."
Mereka sudah masuk ke dalam ruangan, dekorasinya begitu indah dan ruangan ini dipenuhi oleh orang-orang dengan pakaian super mewah serta dandanan yang keren. Ada sedikit perasaan minder dalam hatinya, tapi dia tidak terlalu peduli akan hal ini.
Matanya tertuju lurus ke arah cowok tampan dengan jas berwarna biru dongker dan celana yang senada dengan jas yang dia kenakan. Walaupun mengenakan topeng, Natha tahu dia adalah Wen. Binar di mata Natha muncul saat dia menemukannya, sayangnya langkah kakinya terhenti begitu menyadari Wen tidak sendirian. Ada gadis lain dengan dress yang begitu cantik, secantik orang yang mengenakannya. Ya, Amerta selalu cantik.
Mereka berdansa karena saat ini sedang dimainkan lagu untuk para hadirin berdansa. Rasanya menyakitkan, Natha tidak paham kenapa dia masih saja merasakan sakit setiap kali melihat Wen berdua dengan Amerta.
"Kenapa masih aja ngerasain sakit kayak gini? Padahal aku udah berusaha buat lupain kamu, Wen," ucapnya lagi.
Natha menggaruk kepalanya pelan, takut merusak riasan rambutnya. "Padahal aku pikir kamu akan terkejut dengan apa yang kamu lihat, ternyata kamu juga bawain aku kejutan, ya?"
Natha ingin menjauh dari sana, tapi dia tidak sengaja menabrak seseorang dengan topeng. Pria dengan aroma parfum yang menenangkan. Dia tinggi, dan berbadan tegap, bola matanya berwarna hitam legam.
"Eh, sorry. Kamu baik-baik aja?" tanya pria itu lagi.
"Ah, iya. Oke, aku oke," jawabnya singkat lalu beranjak dari sana.
"Tunggu, aku belum kenalan sama kamu, gadis cantik. Namamu siapa?"
Napasnya memburu, dia ingin pergi dari sini. Natha tidak suka dekat dengan cowok selain Wen. Hal itu juga yang membuatnya hanya punya Wen sebagai teman dekatnya.
Natha tidak tahu ada orang yang menyadari kehadirannya, dan berdiri di depannya.
"Maaf, dia bersamaku. Terima kasih," balas Wen lalu menarik lengan Natha menjauh dari sana. Mereka segera pergi ke balkon yang ada di sana dan duduk di kursi yang ada.
"Natha? Kamu ngapain ada di sini?" tanya Wen gusar. Dia tidak suka ada orang yang mendekati Natha seperti tadi, rasanya menyebalkan.
Natha tertawa pelan. "Memangnya kenapa?"
Wen memutar bola mata kesal, "Ya ini, kan, acara keluarga. Kamu dan aku bukan keluarga, Natha. Kenapa bisa kamu ada di sini? Aneh tahu, nggak?" tanya Wen kesal.
"Kamu sendiri kenapa ajak Amerta ke sini?" balas Natha dingin.
Wen mengerutkan kening heran dengan pertanyaan aneh Natha. "Jelas, lah. Orang aku yang ajain dia ke sini. Kalau kamu, kan, beda. Aku nggak ngajak kamu ke acara ini, terus siapa coba?"
Semakin jelas jika dia tidak punya arti lebih di mata Wen, hanya sebatas teman lama yang selamanya akan menjadi teman lama.
"Oh gitu? Oke. Kamu pikir aja sendiri, bagaimana ceritanya aku yang tidak ada hubungan keluarga katanya, ternyata bisa ada di sini. Punya akal, kan?" balas Natha sarkas. Dia jarang sesarkas ini, terutama dengan Wen. Hanya saja perasaannya sudah dihancurleburkan olehnya, sakit hati dan emosi melandasi perkataannya yang kasar ini.
"Nath? Kok kamu kasar banget, sih?" tanya Wen heran, Dia jarang menjumpai Natha seemosi ini, biasanya Natha hanya lempeng-lempeng saja dan menerima semua dengan senyuman, tapi kali ini berbeda. Ada kilat penuh amarah dalam matanya, Wen bisa rasakan itu.
Natha mengusap wajahnya kasar, tidak peduli dengan riasan wajahnya yang akan berantakan. Matanya berkaca-kaca, dia menarik lengan Wen dan membawanya kembali ke dalam.
"Kamu lihat di sana. Kamu tahu itu siapa?"
Darah mengalir semakin deras, dia tidak tahu kalau Airine datang bersama dengan seorang pria. Dari bahasa tubuh, mereka jelas terlihat begitu akrab. Entah sejak kapan Airine memiliki relasi sedekat itu. Wen tidak pernah diceritakan soal hal ini.
"Kamu sadar dia siapa, Wen?"
Wen menatap tajam ke arah Natha, tidak bersuara hanya diam dengan rahang mengeras dan mengepakan tangan sekuat tenaga.
"Kamu tidak tahu apa-apa soal aku, Wen. Kamu juga tidak tahu apa-apa soal tante Airine. Kamu sadar kalau akhir-akhir ini ada parfum pria melekat dalam baju kerjanya, tapi kamu tutup mata, kan? Kenapa? Terlalu pengecut, Wen?"
Urat terlihat dari sana, Wen menahan emosi sekuat tenaga. Dia tidak ingin melakukan kekerasan dengan gadis, terkhusus Natha. Hal ini menyesakkan, semakin dia mengingkari kenyataan jika dia punya rasa, malah dia semakin terjerumus dan menyayanginya lebih dalam lagi.
Wen tidak mengucapkan apa-apa, hanya kilatan mata penuh kekecewaan dan dia pergi mencari pintu keluar. Natha terduduk lemas, air matanya mengalir mengiringi kepergian Wen dari ruangan ini.
"Maafin aku, Wen," ucapnya sambil memukul dadanya dengan kencang.
Wen hampir sampai begitu tangannya dicekal oleh Amerta. "Wen, are you okay? Bukannya kamu mau bicara sama Natha? Kok malah di sini?"
Wen mendengkus kesal, "Amerta, kita cukupkan peran ini sampai di sini. Aku sudah sadar dengan perasaanku. Kamu benar, aku menyayanginya, tapi situasi yang terjadi terlalu rumit. Kamu bisa pulang naik taksi, aku mau pulang dan sendirian dulu," balasnya lalu melepaskan cekalan Amerta padanya.
Amerta masih bingung dengan ucapan Wen, sedangkan orangnya sudah kembali berjalan ke pintu keluar. Sayangnya dunia seakan berputar dan gelap melingkupinya. Selepas itu teriakan terdengar silih berganti mengiringi jatuhnya badan Wen ke lantai. Badannya dingin, wajahnya pucat, badannya lemas. Pada akhirnya dia tumbang setelah fakta yang terungkap, Airine dekat dengan pria lain selain papanya, Dandy.
-Bersambung-
Jumlah kata 1170
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wish- TAMAT
RomansaWen Sidharta hanya ingin mati.Hidup pun percuma, tiap hari Ayahnya semakin tidak tahu diri menyakiti hati ibu. Dia tidak pernah melupakan cinta pertamanya, meninggalkan Wen dan ibu hidup berdua hingga tetangga barunya datang, Natha Maheswari. Berdua...