Mereka kembali ke kelas. Hari belum usai, masih ada kelas yang harus dihadiri.
"Hari ini harusnya pelajaran Bu Gwen, kamu udah siap sama pertanyaan dadakan beliau?" tanya Wen saat mereka masih berjalan kembali ke kelas.
Natha melirik Wen sekilas, lalu tersenyum tipis. Wajahnya bersemu merah, mengulum bibir karena wajah tampan cowok di sampingnya.
Cowok yang sudah berteman dengannya sejak mereka masih kecil hingga saat ini, Natha menghabiskan waktu bersamanya, menikmati lika liku kehidupan bersama, membagikan keluh kesah kepadanya juga.
Wen adalah segalanya untuk Natha, tapi Natha belum tentu segalanya untuk dia. Natha mulai meragu akan arti eksistensinya untuk Wen. Dia mulai asik dengan orang baru yang hadir dalam hidupnya, dia mulai bersikap biasa saja begitu Natha menghindarinya, hanya bertanya sekali lalu tidak dikejar lagi.
Dulu, Wen selalu mengejar Natha hingga mereka kembali berbaikan karena dia tipikal orang yang tidak betah berada dalam permasalahan untuk waktu yang lama, apalagi jika masalahnya seperti salah paham.
Namun, Natha berbeda. Dia lebih memilih menjaga jarak saat merasa marah, kecewa atau kesal. Natha tidak ingin berbicara saat hati dan kepalanya panas karena takut akan memperparah keadaan.
Apa saja bisa keluar dan terjadi saat amarah menguasai hati dan pikiran. Natha tidak mau hubungannya dengan Wen kandas, meskipun mereka hanya sebatas teman.
Namun, arti Wen jauh lebih penting dari apa yang Wen pikirkan. Wen dan Elano adalah dua harta berharga yang ada dalam hidupnya. Jauh lebih berharga dari nyawanya sendiri.
Kalau Natha diberi pilihan antara hidupnya sendiri dan hidup Elano atau Wen, dia akan memilih menyelamatkan kedua orang tadi.
Hidup tanpa kehadiran mereka hanya akan membawa kesengsaraan tidak berujung. Natha tidak mau hidup dalam kesesakan lagi.
"Yah, siap nggak siap. Lagian bakal diapain, sih? Paling diomelin doang, santai aja."
Wen menggeleng kepala heran. "Jadi berandalan beneran kamu nanti. Hati-hati kualat sama orang yang lebih tua. Jaga sopan santun, kita hidup di negara yang menjunjung tinggi nilai kesopansantunan. Hati-hati."
Natha memutar bola matanya malas,"Gitu doang jadi berandalan? Yang bener aja."
Wen tertawa pelan, "Ye situ nggak tahu definisi berandalan? Sini aku kasih tahu, berandalan itu orang yang tidak patuh sama peraturan, selalu mengacau dan berbuat seenaknya. Nah, sama tuh sama yang mau kamu lakuin tadi, berbuat seenaknya. Dasar bandel," jelasnya panjang lebar.
Natha tidak menjawab omelan Wen barusan, dia lebih memilih diam dan menikmati ketampanannya saja. Mereka sedang berjalan dengan damai, lalu Natha kehilangan keseimbangan begitu saja.
"Eh, Nath!" pekik Wen sambil meraih lengan Natha dengan cekatan. Natha melotot, tidak mengira dia akan kembali kehilangan keseimbangan.
"W-wen, makasih."
Wen mengangguk pelan lalu mengernyitkan dahi heran. "Nath, kamu kurang tidur?"
"Nggak. Aku tidur on time, kok. Kenapa?"
Wen menghela napas panjang sebelum kembali melanjutkan ucapannya.
"Kamu sadar nggak akhir-akhir ini kamu sering kehilangan keseimbangan? Kalau kecapean mending istirahat, kamu tahu kan kita bisa kasih surat ijin sakit. Kalau kamu takut suratnya nggak diterima, aku bisa anterin kamu ke dokter dan cek kondisi kamu. Nanti sekalian minta surat ijin, biar kamu bisa istirahat. Aku khawatir lihat kamu kayak gini. "
Natha mengulum senyum, perasaannya menghangat mendengar penuturan Wen. "Aku sudah dari dokter kemarin."
"Hah? Tumben inisiatif sendiri. Terus apa katanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wish- TAMAT
RomansaWen Sidharta hanya ingin mati.Hidup pun percuma, tiap hari Ayahnya semakin tidak tahu diri menyakiti hati ibu. Dia tidak pernah melupakan cinta pertamanya, meninggalkan Wen dan ibu hidup berdua hingga tetangga barunya datang, Natha Maheswari. Berdua...