Di tempat lain, Wen sudah berdiri sambil berjalan mondar-mandir dengan ponsel di genggamannya. Keringat sudah bercucuran dari keningnya. Debaran di dada semakin tidak karuan, dia kaget karena tidak mendapati Natha setelah mereka berpisah tadi.
"Ini bocah kemana, sih? Nyasar kemana? Dasar," ujarnya kesal. Dari satu jam yang lalu dia sudah berulang kali mengirimkan pesan dan menelpon nomornya. Sayangnya, tidak ada satu pun pesan yang dibalas dan panggilan yang diangkat.
"Padahal tadi dia sendiri yang nelepon. Udah gitu pake diputusin secara sepihak lagi panggilannya. Aku, kan, belum selesai ngomong," lanjut Wen bermonolog.
Airine dari dalam rumah membuka pintu depan dan menatap anak tunggalnya dengan heran. "Kamu lagi cosplay jadi setrika, Wen?" sindir Airine dengan ekspresi datar.
"Hah?" Wen tidak menyadari Airine membuka pintu rumah tadi. Ekspresi kaget terlihat jelas dari wajah ovalnya. Rambutnya berantakan terkena angin yang berhembus kencang malam itu. Wen sudah mondar-mandir hampir setengah jam, dengan menyilangkan tangan di depan dada dan badan gemetar.
"Kamu kenapa, Nak? Mau pingsan lagi karena dingin? Udah lupa siapa yang pingsan dan masuk rumah sakit karena hipotermia?"
Wen mendengkus pelan, suasana hatinya sedang tidak baik sekarang. Situasi bertambah tidak enak dengan omelan Airine. Dalam kondisi seperti ini, hal yang bisa dia lakukan adalah menuruti arahan Airine supaya wanita paruh baya ini tenang.
"Kenapa keluar nggak pake baju hangat? Kamu lupa apa saran dokter Aleksander Nathan untuk tetap pake pakaian tebal, menghindari aktivitas fisik saat suhu sedang dingin? Kamu mau buat mama khawatir, Nak?"
"Ma, please. Wen sudah baik-baik aja. Wen cuman lagi khawatir sama Natha. Dia belum pulang, ini sudah malam. Dia bukan tipe orang yang pulang larut malam kayak gini, Ma," jawab Nathan setengah putus asa.
"Oh, ini karena Natha? Bukannya kamu pingsan waktu itu juga karena Natha? Dia yang buat kamu berani melawan perkataan mama, kan? Kamu tetap nekat mau temani dia naik gunung padahal cuaca sedang dingin-dinginnya. Terus apa akhirnya? Kamu pulang dengan bibir agak membiru, wajah pucat dan berakhir buat mama histeris lihat kamu pingsan. Itu maksud kamu, Nak?"
Wen menggaruk kepalanya pelan, dia ingin menghindari perdebatan tidak berguna ini. Sayangnya bagi Airine, hal ini penting.
"Mama cuman punya kamu, Nak. Mama sayang sama kamu," lanjut Airine lagi dengan mata berkaca-kaca.
Wen mendekat lalu memeluk erat Airine. Dia bisa merasakan badan anaknya terasa begitu dingin. Sentuhan kulit di antara ibu dan anak ini memberikan kehangatan di tengah dinginnya malam.
"Ma, Wen nggak bermaksud gitu. Wen cuman ingin temani Natha. Dia ditinggal pergi mamanya, dia dan om Elano harus kerja keras untuk membiayai hidup mereka berdua. Mama tahu uangnya om Elano diambil sama tante Aleta? Semuanya, Ma. Natha selalu aja cari aktivitas ekstrim sebagai pelampiasan, dan Wen tidak akan tenang kalau biarin Natha jalan sendirian. Anak itu jarang bersosialisasi, Dia juga cuman punya Wen, Ma."
Airine menggeleng pelan. "Dia punya orang lain, Wen. Kamu hanya diperdaya sama dia," ujarnya lagi dengan sarkas.
Wen sesekali melirik ke pagar rumah Natha, masih terkunci seperti semula. Fokusnya terbagi, dia ingin sekali masuk dan berkunjung ke rumah Natha, sekedar bertanya atau berbincang dengan Elano menanyakan kabar terkini tentang mereka berdua.
"Mama ada di sini, Nak. Matanya nggak usah kesana-kemari. Badan aja di sini, tapi pikiran masih aja mikirin Natha," keluhnya lagi.
"Ma, maksud mama apa? Dia punya orang lain?" Ucapan Airine mengganggunya sedari tadi.
Airine menyeringai, "Tentu. Kamu tidak tahu, kan? Dia tidak sepolos dan senaif yang kamu kira. Jangan mau dibohongi, sayang," jawabnya dengan sarkastik.
"Sudahlah, kamu menggigil dan pucat, Wen. Kulitmu dingin sekali, ayo masuk ke dalam rumah. Mama sudah masak tumis sayur bayam dan ikan goreng. Itu makanan kesukaanmu semua, kita makan malam, yuk, sayang," ajak Airine lagi.
Dia tidak memedulikan layar ponselnya yang berkedip-kedip menampilkan adanya panggilan masuk dengan ID- caller Dandy. Fokus Airine hanya tertuju pada Wen, anak yang dimilikinya bersama Dandy. Sayangnya, pria itu memilih jalur yang berbeda dan meninggalkannya dalam ketakutan, kekalutan, kemarahan dan kekecewaan.
Airine mengulurkan tangan, meraih jemari Wen lalu menariknya masuk kembali ke rumah. Pada akhirnya, Wen hanya bisa menjadi anak yang penurut sesuai dengan keinginan Airine. Hatinya mencelos, kondisi dan situasinya tidak mendukung untuk dia mencari tahu keberadaan Natha. Ponselnya sudah diambil Airine tadi saat mereka sudah tiba di meja makan.
"Ma, Wen mau lihat pengumuman ujian masuk ke Peringgi dulu, Ma. Boleh Wen dapat ponsel Wen lagi?"
"Yakin? Bukannya itu alasan kamu doang biar bisa kirim pesan ke Natha? Kamu pikir bisa ngibulin mama? Mama ini orang yang lahirin kamu, mama tahu isi otak kamu. Jangan berani bohongin mama," balasnya kesal.
Untuk kedua kalinya hatinya mencelos, dia tidak tahu hal ini akan kembali terjadi. "Mama kenapa marah sama Natha? Bukannya kemarin mama yang bilang supaya aku tetap berteman baik sama dia?"
Wen menghela napas sebentar lalu melanjutkan ucapannya, "Mama bilang kita tidak tahu apa yang terjadi sama mereka dan apa yang mereka rasakan, jadi kita harus simpati dan jadi tetangga yang baik buat mereka. Terus ini apa, Ma? Wen nungguin Natha karena dia belum pulang."
Wen mencoba menarik titik-titik petunjuk dari ucapan yang pernah disampaikan Airine sebelum dia pergi ke arisan kompleks yang diadakan teman-teman sosialitanya.
Airine termenung untuk beberapa saat lalu menatap Wen dengan tatapan tidak suka. "Oh, gitu? Melawan orang tua?" tanya balik Airine dengan wajah merah padam.
"Ma, Wen benci ada di situasi ini. Wen sayang sama mama, Wen juga sayang sama Natha, dia teman Wen sekaligus tetangga dan teman main sejak kami bertemu. Dia yang bantu Wen untuk tetap survive setelah selama ini melihat papa jarang pulang dan main sama kita. Wen stress, Ma. Wen tidak sekuat itu, justru karena Natha jadi Wen bisa bertahan. Salah satunya karena dia, Ma," jelas Wen panjang lebar.
Airine mendengkus kesal, lalu menarik napas serta menghembuskannya lagi. "Ini, terserah kamu mau pake buat apa. Makan sendiri dulu, mama kesal sama kamu," ujarnya sambil menyerahkan ponsel hitam milik Wen.
Wen menghela napas lega, dia memang butuh melihat pengumuman jalur masuk Perringgi yang sudah dikirimkan di grup kelasnya. Sebagai siswa SEMENAT, dia sudah harus memperkirakan akan masuk ke jurusan apa dan di Peringgi mana. Semua siswa SEMENAT di Negara Tora akan melakukan ujian masuk ke Peringgi top dan terkenal.
Wen menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, sambil melirik Airine yang masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. "Ma, tadi mama ke arisan, ya? Gimana tadi?"
Ada perubahan ekspresi AIrine saat itu, semakin memucat dengan tangan terkepal. Tentu saja hal ini membuat Wen bingung, jarang sekali dia melihat Airine bersikap seperti ini. Terakhir kali saat Airine dan Dandy beragumen dengan perdebatan yang tidak berujung.
Baru saja Wen mau menanyakan hal itu, begitu dia menyadari ada panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Bersamaan dengan itu, ada berita yang menyiarkan terjadinya kecelakaan tabrak lari di kota tempatnya tinggal.
Napasnya semakin tercekat begitu menyadari inisial korban dan ciri-ciri fisik serta pakaian yang sedang digunakan korban merujuk pada Natha.
"Nggak mungkin!"
Satu, atau dua kejadian tidak akan pernah muncul dalam kalender kehidupan, menyisakan misteri tiada berujung.
-Bersambung-
1108 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wish- TAMAT
Roman d'amourWen Sidharta hanya ingin mati.Hidup pun percuma, tiap hari Ayahnya semakin tidak tahu diri menyakiti hati ibu. Dia tidak pernah melupakan cinta pertamanya, meninggalkan Wen dan ibu hidup berdua hingga tetangga barunya datang, Natha Maheswari. Berdua...