Alunan musik terdengar dari ponsel Natha. Gadis itu baru saja keluar dari kamar mandi setelah membasuh dirinya. Masih ada bulir-bulir air menetes dari ujung rambutnya. Mata sayunya melirik ke arah layar ponsel yang menampilkan ID-caller Wen.
"Ah, aku lupa kabarin dia. Mana ponselku baru di-charger juga tadi makanya baru nyala. Mampus," gumam Natha sambil menggaruk kepalanya kasar. Gadis ini segera mengusap layar ke atas untuk menerima panggilan.
"Hei, Wen. Tumben masih bangun. Kenapa?" tanya Natha berusaha menormalkan nada bicaranya. Dia masih dikuasai ketakutan dan rasa gugup. Dia hanya berbicara sebentar saja dengan Wen hari ini.
"Kemana saja kamu? Kenapa jam segini baru pulang?"
"Oh, tadi aku ketemu sama ayahnya Dinata. Nggak sengaja, sih. Jadi dianterin sekalian. Kamu lagi ngapain, Wen?" tanya Natha berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Pertemuan yang tidak disengaja? Lucu. Sejak kapan kamu gampang diajak jalan sama pria yang umurnya jauh lebih tua dari kamu, Natha? Bukannya om Elano selalu bilang supaya kamu hati-hati sama orang lain? Bedakan profesional sama bodoh, Natha," gertak Wen kesal.
Natha tercekat, dia jarang mendengar Wen semarah ini.
"Wen? Aku minta maaf, tapi tadi beneran nggak sengaja ketemu di jalan."
"Memangnya kamu ketemu siapa sebelumnya? Kenapa selarut ini baru pulang? Kamu nggak lihat ada berita penculikan anak lagi marak akhir-akhir ini? Kamu nggak pikirin perasaan orang yang sayang sama kamu? Kamu nggak ingat ada om Elano yang berharap kamu selalu aman di rumah? Kamu mikir nggak, sih, perasaannya dia kalau tahu anaknya suka keluyuran di luar sampai tengah malam gini? Gila ya kamu, Nath?"
Natha memilih diam beberapa saat dan menghadap ke jendela yang berhadapan dengan kamar Wen. Di sana, Natha melihat Wen juga menatap ke arahnya dengan wajah penuh amarah.
"Kenapa diam? Kamu tahu di berita tadi ada berita orang kecelakaan, aku kira itu kamu! Kamu tahu aku panik, aku mau keluar nyari kamu untuk pastiin kalau orang itu bukan kamu. Aku bahkan berantem sama mama karena kamu. Please, Natha, jangan kayak gini."
Natha tersenyum tipis, "Jangan kayak gini gimana maksud kamu, Wen?"
"Jangan buat aku khawatir. Kabarin aku kalau kamu mau pergi, biar aku tahu kalau kamu baik-baik saja."
"Kenapa aku harus kabarin kamu? Kita cuman teman, kan? Bukannya kamu sendiri yang bilang kita cuman teman?"
Wen terlihat mengacak-acak rambutnya kasar, "Iya, tahun lalu pas kamu bilang suka ke aku. Pas itu aku bilang kita cuman teman karena aku cuman anggap hubungan kita sebagai teman dari kecil. Aku sayang sama kamu sebagai temanku dari kecil. Kamu berharga, Natha. Jangan kalah dengan perasaan, hubungan pertemanan lebih langgeng daripada hubungan pacaran yang bisa putus kapan saja. Lagian, aku tidak ingin berpacaran dulu, Natha. Kamu tahu keluargaku seperti apa kondisinya. Orang brengsek itu buat aku nggak percaya lagi dengan cinta."
Natha tersenyum lagi, "Selalu saja mengumpat orang tuamu sendiri. Kamu tidak pernah mendengar nasehatku, Wen."
"Itu karena kamu tidak tahu bagaimana rasanya jadi aku. Kamu disayang sama om Elano. Kamu tahu kasih sayang seorang ayah, sedangkan aku? Aku dihancurkan oleh papaku sendiri. Dia lebih memilih cinta pertamanya daripada membangun keluarganya sendiri."
Natha melirik ke arah foto yang ada di dekat meja belajarnya, "Aku tidak akan tahu bagaimana rasanya jadi kamu, karena aku bukan kamu. Kamu juga bukan aku. Orang yang mengantarku tadi namanya Bumi Siwi, dia papanya Dinata. Kamu masih ingat Dinata, kan? Dia anak yang aku ajar. Mereka bukan dua orang asing bagiku, hanya saja kamu tidak tahu tentangku dan keluargaku, Wen. Kamu tidak tahu."
Pikiran Natha kembali ke percakapan antara dia dengan Dandy dan percakapannya dengan Bumi Siwi. Tentang cinta pertama Dandy yang dibenci oleh Wen, hubungan antara dia dengan Bumi Siwi, dan kondisi keluarganya yang sama berantakan dengan keluarga Wen. Mereka hanyalah dua anak yang haus akan kasih sayang kedua orang tuanya. Namun, keinginan semudah itu pun tampak mustahil untuk menjadi kenyataan.
Terdengar kekehan dari Wen, wajahnya tampak pias dan penuh kekecewaan. Natha bisa menyadari hal itu dari ekspresi yang dia tunjukkan padanya dari balik jendela.
"Kalau kamu tahu aku tidak tahu, kenapa kamu tidak kasih tahu saja, Nath? Kenapa hanya diam dan bilang aku tidak tahu apa-apa? Kamu kira aku punya kekuatan super untuk baca pikiranmu?"
"Aku takut kamu akan pergi karena hal ini. Kamu tahu betapa berartinya kamu buatku, kan, Wen?"
Wen menggelengkan kepala, "Kamu tidak perlu berpikir sejauh itu, Natha. Kamu tahu hal yang paling aku benci adalah pria brengsek itu dan cinta pertamanya. Aku benci orang yang berhubungan dengan mereka berdua. Kamu, kan, tidak ada hubungannya dengan dua orang itu. Jadi, apa yang kamu takutkan?"
Natha mengulum senyum, menatap Wen dalam kesenduan. "Kamu tidak perlu khawatir lagi, om Bumi juga kenal dengan papa. Dia juga bagian dari keluargaku."
"Iya, aku tahu sekarang. Nanti aku mau kenalan juga sama om Bumi, kalau kamu menghilang lagi, aku bisa tanya ke om Bumi. Keponakannya bandel banget, sih," kelakarnya dengan senyuman penuh kehangatan. Senyuman yang membuat Natha merasa tenang.
"Tidak perlu khawatir. Aku juga sudah sering bicara tentang kamu ke om Bumi."
"Oh ya? Dasar."
"Aku bahas yang baik-baik, kok. Kamu, cowok tampan yang aku suka. Cowok yang mau jadi sahabatku, teman dekatku sejak kecil, orang yang baiknya kebangetan dan sayang sama mamanya sampai ke sel-sel terdalam."
Wen tersenyum, tidak membalas ucapan Natha.
"Ya sudah, sampai jumpa besok. Tidak lama lagi masa di SEMENAT ini akan usai. Kita akan sama-sama lagi sampai di Peringgi, kan?" tanya Natha memulai percakapan yang sempat terhenti beberapa saat.
"Tentu saja. Kita akan bersama selamanya. Selamat malam, Natha."
"Selamat malam, Wen," ucapnya mengakhiri percakapan mereka. Natha menutup tirai jendelanya, lalu memukul dadanya dengan keras.
"Aku adalah bagian dari orang yang kamu benci, Wen," ucapnya sambil mengambil foto pigura yang sempat dilihatnya tadi.
"Tante Claire, orang yang kamu benci karena merebut cinta dan perhatian dari papamu, om Dandy. Dia adalah tanteku, bagian dari keluargaku. Bagaimana responmu kalau aku bilang hal itu tadi?" ujarnya sambil duduk di pinggir kasur.
Air matanya mengalir deras bersama dengan hujan lebat dan petir. "Apalagi kamu tidak tahu soal tante Airine dan papaku. Kamu tidak tahu kenyataan yang terjadi, Wen. Entah apa yang akan terjadi kalau kamu tahu. Aku takut," gumamnya lagi.
Natha menarik napas panjang, berusaha meraup oksigen sebanyak mungkin. Dadanya terasa sesak. "Di foto ini ada papa, mama yang manyun, tante Claire, om Bumi dan aku yang masih kecil. Seandainya saja keluarga ini bisa terselamatkan, pasti rumah ini tidak akan sesunyi ini."
"Sayangnya, semua sudah terlambat. Mama sudah pergi entah kemana, papa masih banting tulang bekerja, om Bumi berdua dengan Dinata, dan tante Claire sudah bahagia dengan Bapa di Surga. Mungkin akan jauh lebih baik kalau papa tidak menikah dengan mama. Pasti mama bisa menyelamatkan masa depan yang dia inginkan, semua cita-citanya yang hancur karena menikah. Papa juga tidak akan susah seperti ini karena uangnya dihabisin sama mama terus. Tapi, aku tidak ingin tante Airine dan papa saling menyimpan rasa. Situasi ini menyesakkan, kenapa aku harus tahu hal seperti ini?" lanjutnya sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Setiap hari, Elano akan datang terlambat atau bahkan tidak pulang sama sekali. Natha sudah terbiasa dengan semua ini. Rumah yang sepi menjadi semakin sunyi. Kalau tidak ada Wen, mungkin dia sudah merealisasikan rencana buruk yang bergema dalam pikirannya selama ini. Wen adalah penyelamatnya, tetapi semua kenyataan ini membuatnya sadar dia dan rahasiannya akan membunuh Wen secara perlahan.
-Bersambung-
Jumlah kata: 1160
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wish- TAMAT
RomansaWen Sidharta hanya ingin mati.Hidup pun percuma, tiap hari Ayahnya semakin tidak tahu diri menyakiti hati ibu. Dia tidak pernah melupakan cinta pertamanya, meninggalkan Wen dan ibu hidup berdua hingga tetangga barunya datang, Natha Maheswari. Berdua...