05 | Mind of Stone

33 5 0
                                    

Natha menyusuri jalan setapak menuju tempat kerjanya. Ekspresi wajahnya terlihat lesu, tidak ada binar di matanya. Yang tersisa hanyalah kesedihan dan pipi yang memerah. Beruntung tidak ada cap tangan di kedua pipinya.

Sesekali Natha melirik ke kiri dan kanan, memperhatikan jalan yang dia lalui. Kapan pun, dia harus berhati-hati, jika tidak ingin kena sial. Akhir-akhir ini banyak berita tentang pejalan kaki, membuatnya harus ekstra berhati-hati saat jalan sendirian.

Jantungnya berdegup kencang, bulu kuduknya merinding. Natha menggaruk lehernya perlahan lalu melirik ke belakang. Matanya membola begitu menyadari ada bayangan selain bayangannya di aspal. Natha segera berhenti dan melihat ke belakangnya.

"Hei! Nyadar juga akhirnya," sapa orang yang mengikutinya itu.

"Kamu! Kenapa nggak ngomong dari tadi? Astaga, untung aku nggak pukul kamu, Wen! Ih, bisa nggak, sih, sehari aja nggak nyebelin?" omel Natha sambil memegang dadanya. Dia berusaha menenangkan perasaannya yang kalut.

"Aku udah berdehem berulang kali, loh. Kamu aja yang budeg. Punya telinga dipake, dong. Masa dianggurin gitu, Nath," balas Wen tidak mau kalah.

"Ya tetep aja, jangan diam-diam kayak gitu. Kalau aku punya riwayat asma gimana coba? Kan, kamu juga yang repot," ujar Natha dengan dahi mengernyit.

Wen tertawa keras lalu menggelengkan kepala. Wajah tampannya memang mengalihkan dunia Natha, helai-helai rambut berwarna cokelat, warna kulit kuning langsat, alis mata yang tebal, bibir merah mudanya yang terlihat begitu sehat, belum lagi kulitnya yang terlihat mulus membuatnya ingin menyentuh pipi Wen. Namun, dari semua itu Natha paling suka melihat mata Wen yang berbinar seperti sinar bintang.

"Kenapa ketawa?" tanya Natha setelah berhasil mengembalikan kesadarannya yang nyaris hilang karena terpesona dengan ketampanan Wen Sidharta.

"Kamu lucu. Dari dulu yang penyakitan itu aku, Nath. Kamu sehat-sehat gini, kok. Jangan mau sakit, Nath. Sakit itu nggak enak, malah buang-buang uang. Padahal kamu bisa pake uang untuk jalan ke luar negeri, ketemu idola yang kamu sukai atau pindah ke luar negeri demi kedamaian hatimu sendiri."

Ekspresi Natha berubah menjadi lebih suram, dia lupa kalau di antara mereka berdua, Wen yang punya riwayat penyakit asma. Natha sudah pernah diajak untuk pemeriksaan kesehatan dengan Elano dulu, hasilnya Natha sehat-sehat saja. Tidak ada masalah meskipun dia merasa jantungnya berdetak terlalu cepat hingga rasanya sesak nafas.

"Itu maunya kamu, kan, Wen?"

Wen memiringkan kepalanya, gaya khasnya setiap kali bingung dengan apa yang diucapkan lawan bicaranya. "Maksudnya?"

"Kamu mau pindah negara sama mamamu?" tanya Natha lagi, kali ini dengan sorot mata penuh kesedihan.

"Oh itu, kalau ada kesempatan aku mau ajak mama pindah ke luar negeri. Kita mulai kembali hidup berdua dari awal, tanpa papa. Rasanya menyesakkan kembali ke rumah, tapi rumah itu tidak pernah utuh. Dari awal sudah berantakan, semakin hari semakin berantakan. Papa hanya mempedulikan dunianya, dan kami tidak ada di dalam dunianya. Hanya ada dia dan masa lalunya. Dasar pria tua brengsek," umpatnya kesal.

"Ih, Wen! Jangan gitu, dong. Hati-hati sama ucapanmu. Gitu-gitu dia papamu. Kalau kamu kesal, tarik napas dan buang lagi. Cukup jaga jarak, bukan membenci. Kalau susah untuk memaafkannya, kamu bisa menghindarinya."

Wen tersenyum menyeringai, "Sampai kapan? Kamu tahu aku sudah muak dengan semua ini. Badan penyakitan, keluarga berantakan, aku capek lihat mama menangis karena pria brengsek itu, Natha," jelas Wen penuh penekanan.

Natha meraih kedua tangan Wen lalu tersenyum, "Wen, semua yang ada di sini ada waktunya. Ada waktu untuk menuai, ada waktu untuk menanam. Ada waktu untuk bersedih, ada juga waktu untuk berbahagia. Kita tidak tahu sampai kapan, tapi aku percaya kalau kita masih diberi nafas kehidupan berarti kita masih bisa dan sanggup menghadapi semua ini."

My Wish- TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang