Empat puluh delapan jam sebelumnya
Keringat membanjiri dahi Natha, seragam sekolahnya masih dia kenakan. Rambut kuncir kudanya mulai terlihat berantakan. Teriknya matahari benar-benar membakar kalori yang dia miliki. Ranselnya pun masih dia kenakan dengan lengkap karena dia baru saja pulang dari sekolah.
"Neng Natha, nggak capek bantuin saya tiap hari gini? Neng, kan, nggak harus bantuin saya tiap hari. Neng semangatin atau sapa bapak juga udah senang, loh," ujar Septian sambil menggaruk kepalanya. Rambutnya hampir putih sempurna, keriput di wajahnya bertambah seiring bertambah umur. Dia mengenakan kaos abu-abu dan celana kain berwarna hitam. Bajunya terlihat lusuh, celananya juga terlihat ada noda di sana.
"Ih, nggak apa-apa, Pak Tian. Lagian, Natha juga nggak ada kerjaan habis pulang sekolah. Jam Pak Tian angkat sampah tepat sama waktu luangnya Natha, jadi sekalian aja nambah kerjaan. Hitung-hitung Natha nambah pahala, kan?" ujarnya sambil menampilkan cengiran khasnya.
"Neng jadi repot gini. Bu Aleta nggak marah kalau neng Natha bantuin gini? Bu Aleta, kan, serem. Saya mau nagih uang untuk sampah ini aja nggak berani," keluhnya sambil bergidik ngeri.
Natha meringis pelan, "Maaf, ya, Pak Tian. Mama saya memang agak lain. Tapi, Pak Tian tenang aja. Untuk iuran sampah bisa minta langsung ke Natha," ujarnya senang.
Septian mengerutkan keningnya, sambil mengambil sampah dari tempat sampah di rumah-rumah. "Neng, ada yang mau bapak tanyakan. Sebelumnya bapak minta maaf kalau ini kurang berkenan untuk Neng Natha."
Natha tersenyum lebar, "Santai aja, Pak. Natha lagi belajar untuk nggak bawa perasaan. Tanya aja yang ingin ditanyain, Pak," jawabnya dengan tenang.
Septian mengangguk dengan lega. Baginya, anak seperti Natha jarang dia temukan. Lagipula, hidup sudah berat, tentu saja tidak ada yang mau menambah beban hidup dengan membantu pekerjaan orang lain melebihi dari yang seharusnya, kan?
Namun, Natha berbeda. Entah apa alasan yang mendasarinya bertindak seperti itu.
"Ada yang mau saya tanyakan. Neng minta langsung ke Pak Elano, kah?"
Natha berhenti melakukan aktivitasnya lalu mengerutkan kening. "Oh! Soal uang iuran, ya? Natha kebetulan sudah dapat pekerjaan sambilan, Pak Tian. Jadi, Natha bisa bantu papa untuk bayar iuran. Natha juga nggak enak mau minta uang jajan ke mama Aleta. Pasti sudah pusing dengan tagihan uang arisan. Tiap hari, kan, kerjaannya ongkang-ongkang kaki sambil telepon teman-temannya di kamar," sindirnya sambil menggelengkan kepala.
"Loh, Neng Natha kerja? Jam berapa?"
"Tiap sore, kok, Pak. Habis ini mau ke rumah kerjakan tugas dulu baru pergi ke tempat kerja. Natha kerja jadi guru les anak SEDASA. Lumayan, waktu kerjanya juga lebih fleksibel. Natha bisa atur kalau ada halangan juga."
Mereka sudah hampir sampai di depan kompleks rumah. Natha mengusap keringat di dahinya dengan lengannya. "Ah, sudah sampai di depan! Pak hati-hati, ya," ujarnya dengan semangat lalu berlari meninggalkan Septian di sana. Natha harus segera kembali ke rumah, masih ada pekerjaan rumah yang menantinya. Setengah jam lagi Aleta akan pulang dari arisan di rumah teman sosialitanya, kalau dia kembali dan rumah masih kotor maka Natha akan berada dalam bahaya.
Melihat gerbang Natha terbuka, Wen langsung keluar dan berdiri di depan gerbang rumah Natha. "Woi! Lama banget," ujar Wen kesal.
"Ya elah, bentar doang. Lagian siapa yang suruh kamu nunggu, sih?" Natha menggelengkan kepala, heran dengan sikap Wen yang serba kepo dengan apa yang dia kerjakan.
"Bentar lagi nenek lampir datang! Cepetan kerja. Aku mau makan dulu, bye!" Wen kembali ke rumah sambil bersenandung kecil.
"Kurang kerjaan, ih. Ngapain nungguin sampai nggak makan gitu? Dasar."
Gerutuan Natha masih bisa didengar Wen, dia tertawa senang. "Aku nggak tenang kalau kamu belum sampai di rumah, Nath," gumamnya pelan sambil menutup pintu rumah. Dia sudah tidak sabar menyantap sop sayur panas dan tempe mendoan yang dibeli mamanya. Berada di rumah jauh lebih menyenangkan, ada mama yang selalu ada di setiap fase hidupnya. Ada Natha juga yang bisa diajak bertukar pikiran, tidak seperti sebelumnya dia harus memendam perasaannya supaya tidak menambah beban pikirannya. Dia sadar sikap papanya cukup membuat mamanya sedih, dia tidak ingin menambah kesedihannya pada wanita paruh baya itu.
Natha segera mengganti baju dengan baju rumah, menaruh tas ransel di kursi dalam kamarnya dan keluar ke dapur. Sudah banyak piring, sendok dan garpu kotor di sana. Belum lagi sampah-sampah yang berserakan di ruang tamu.
"Ck, pasti tadi ngemil nggak dibuang dulu sampahnya," ujarnya kesal. Namun, Natha tidak bisa berbuat apa-apa selain membersihkan rumah sebersih mungkin.
Sudah lama hal ini terjadi. Sejak dia masih kecil, jarang sekali Natha mendapatkan kasih sayang darinya. Aleta hampir tidak pernah datang ke sekolah untuk mengikuti rapat orang tua, atau datang saat dia akan lulus dari sekolah. Hanya Elano seorang, hanya dia yang sudi datang di setiap acara penting dalam hidupnya. Sejak masuk ke SEDASA, Aleta tidak lagi mengerjakan pekerjaan rumah. Hal yang dia lakukan adalah menyuruhnya ini dan itu, membiarkan Natha mengerjakan semua pekerjaan rumah.
Natha sudah selesai mencuci piring, mengelap wastafel yang terkena percikan air. "Nah, udah kering sekarang wastafelnya. Kalau masih ada air, sama masih ada sisa makanan di saringan pasti mama marah lagi," ujarnya pelan. Natha menepuk tangan puas, lalu beralih mengambil sapu untuk menyapu rumah. Selanjutnya mengepel rumah dengan cairan pel yang mengeluarkan aroma minyak kayu putih.
Dia bisa merasakan encok di punggungnya, badannya terasa capek, tapi dia harus segera menyelesaikan pekerjaan ini sebelum Aleta pulang. Natha baru saja selesai mengepel rumah, ketika terdengar suara berisik dari pintu depan.
"Natha! Ke sini kamu! Dasar anak durhaka!" teriak Aleta kesal. Dia terlihat seperti orang dikejar setan. Natha mengelus dadanya, "Astaga, baru juga pulang udah marah-marah aja," bisiknya pelan. Pada akhirnya dia tetap akan menuruti apa yang diinginkan Aleta, seabsurd apapun itu.
"Iya, Ma?" tanya Natha heran.
Matanya memerah, hidungnya juga memerah. Rambutnya terlihat berantakan. "Mama kenapa?" tanya Natha heran. Sudah biasa dia melihat rambut yang berantakan, tapi hidung yang merah seperti habis menangis ini memberikan tanda tanya baginya.
"Kamu memang anak pembawa sial. Mana pernah aku kalah, gara-gara kamu bantuin tukang sampah mama jadi kena imbasnya! Mama malu, dibahas sama teman-teman pas arisan. Gila ya kamu, Natha!" pekiknya keras.
"Ma, nggak gitu --"
Aleta mendelik tidak terima, "Apanya yang nggak gitu? Kamu kalau mau bantuin orang lain, keluar aja dari rumah ini. Dasar anak tidak tahu diri!" teriaknya sambil menampar pipi kiri dan kanannya.
"Ma, salah Natha bantuin orang lain? Kita, kan, harus saling membantu, Ma," ucapnya lagi. "Natha salah apa, Ma?" ujarnya sambil memegang pipinya yang terasa panas.
"Salah apa? Salahmu adalah kamu lahir! Kamu rusak semua masa depan mama. Harusnya kamu nggak pernah ada, Natha!" teriaknya lagi sambil melempar tas ke wajah Natha persis.
Rasa sakitnya cukup menyakitkan, tapi rasa sakit itu tidak seberapa dengan sakit di hatinya. Dari dulu, Aleta selalu bersikap seperti ini. Menyalahkan semua yang terjadi pada hidupnya kepada Natha.
Natha masih berdiri mematung di tempat yang sama, dengan berlinang air mata. "Natha juga nggak ingin dilahirkan, Ma," gumamnya pelan.
Ingin rasanya dia memutarbalikkan waktu, mengembalikan semua ke posisi semula. Menyarankan Elano untuk tidak bertemu Aleta, karena wanita yang melahirkannya ini menjadi sumber kejatuhan Elano dengan menghamburkan uang yang pria itu punya.
-Bersambung-
1114 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wish- TAMAT
RomanceWen Sidharta hanya ingin mati.Hidup pun percuma, tiap hari Ayahnya semakin tidak tahu diri menyakiti hati ibu. Dia tidak pernah melupakan cinta pertamanya, meninggalkan Wen dan ibu hidup berdua hingga tetangga barunya datang, Natha Maheswari. Berdua...