Bumi Siwi melirik manusia yang ditakdirkan menjadi keponakannya dengan tatapan heran. "Kenapa? Badanmu masih gatal-gatal? Kamu beneran jarang mandi, ya?" sindirnya lagi.
Natha merengut kesal,"Ih, om bisa nggak, sih, nggak usah nyari ribut? Natha udah nggak ngoceh lagi, loh. Katanya mau Natha diem, kok malah mancing lagi," keluhnya sambil menggaruk badannya dengan kasar.
"Semakin kamu garuk malah akan semakin gatal. Kamu nggak mikir itu gatal bisa menyebar dan meluas? Kamu mau garuk sampai jaman kuda balik ke batu lagi juga nggak akan kelar itu gatal-gatal," tukasnya sambil merogoh sesuatu dalam tas ranselnya.
Natha menghela napas panjang, dia ingin membantah perkataan Bumi tadi, tapi dia masih fokus dalam menggaruk badannya. "Asli ya om! Kalau bisa, Natha mau cakar aja ini badan. Abis ngeselin banget, masa gatal-gatal pas Natha masih di jalan kayak gini? Kan Natha yang repot, om," keluhnya lagi.
"Udah-udah, ini pakai lotion buat mengurangi gatal. Ini ada obat alergi dan air putih, minum cepetan. Om bisa penuaan dini gara-gara dengar ocehanmu," ujarnya sambil menyodorkan seperangkat alat perang berupa lotion, obat tablet dan air putih.
Mata Natha berbinar-binar melihat seperangkat alat yang akan meringankan hidupnya malam ini. "Ya ampun! Makasih banget, om! Harusnya om kasih ke Natha dari tadi! Natha udah capek banget garuk-garukin badan dari tadi," keluhnya lagi.
Bumi Siwi memutar bola mata malas, "Udah ditolongin, masih aja lanjut ngomel," sindirnya kesal.
Natha menghela napas panjang, rambut ikalnya terlihat berantakan. Wajahnya kusam, lingkar hitam di kantong matanya semakin besar saja, belum lagi bibir yang manyun sepanjang waktu.
"Natha, kamu niat nggak, sih, jadi cewek? Kok awut-awutan model gini? Kalau kayak gini mana ada cowok yang mau deketin kamu? Nggak laku-laku nanti kamu," ujar Bumi Siwi menasehatinya. Dia turut prihatin dengan penampakan yang mengenaskan dari keponakannya ini.
Natha tidak membalas dengan amarah, dia hanya menatap lurus ke depan sambil menghela napas berulang kali. "Aku bisa apa, om? Aku capek, harus bekerja dan cari kerjaan sampingan untuk bantu papa. Aku juga tidak tega lihat papa kerja keras, bahkan lebih keras dari biasanya. Seandainya aja ada pekerjaan yang mudah, aku bisa lakukan dan dapat imbalan yang fantastis. Pasti akan kuambil, om."
"Tanpa tahu konsekuensinya? Kamu kira ada pekerjaan yang gajinya tinggi tapi konsekuensinya sedikit? Pasti konsekuensinya besar, dan kamu masih mau lanjutkan ambil pekerjaan itu nantinya?" tanya pria itu heran.
"Tentu saja, memangnya siapa yang akan bersedih? Aku yakin om bisa jaga papa. Om tahu kebahagiaan papa ada pada siapa, kan? Sayangnya, dia tidak bisa bersama orang itu."
Bumi Siwi tertegun mendengar penuturan Natha, "Apa maksudmu? Kamu tahu apa?"
Natha tersenyum lalu terkekeh pelan, "Aku tahu apa? Aku lihat, kok, om. Aku masih punya mata dan insting untuk sadar ada sesuatu diantara mereka berdua. Aku sudah terlalu sering lihat papa dan mama Aleta bertengkar. Lempar piring, tampar menampar, intonasi setinggi harapan orang tua, dan ucapan yang menyakitkan seperti cacian dan makian dari tetangga yang nyinyir. Serapi apapun disembunyikan, aku tahu, om."
Langkahnya terhenti, binar di matanya meredup. "Sejak kapan? Bagaimana kamu tahu?"
Seringai muncul dari wajah kusamnya, jerawat mulai bermunculan satu per satu. Namun, Natha tidak lagi peduli, dia sudah lelah merawat dirinya. Menurutnya dia sudah lama hancur dan tidak ada alasan penting baginya untuk tetap menjalani kehidupan menyebalkan ini.
"Sudah lama, hari itu aku baru pulang sekolah. Diajak Wen jalan-jalan di pusat perbelanjaan. Pas itu Wen lagi ke toilet, begitu aku lihat papa dan dia berpelukan. Keren ya? Pantas saja mama Aleta dan papa bertengkar sepanjang waktu, rupanya mereka berdua menyimpan masalah masing-masing."
"Wen tahu?"
Natha menggeleng pelan, "Aku berhutang banyak sama Wen. Dia tidak tahu tentang hubungan diantara aku dan orang yang dia benci, aku juga merahasiakan hubungan papa dan dia dari Wen. Aku rasa aku tidak akan sanggup menatap matanya jika dia tahu kenyataannya, om," tuturnya dengan mata sayu.
"Kamu berencana memberitahukannya atau tetap merahasiakannya, Natha?"
Natha menangkat bahunya pelan, "Ditutup serapat apapun, dia akan tahu juga pada akhirnya. Dari aku atau dari orang lain, dia akan tahu. Kurasa aku akan kembali sendirian, tidak punya teman lagi. Wen itu temanku satu-satunya, kalau dia pergi, aku sendirian."
"Om harap yang terbaik buat kalian. Kamu bisa ambil waktu untuk berpikir kapan akan memberitahu dia. Soal hubungan papamu dan dia , om tidak tahu kamu sudah menyadari hal itu jauh sebelum ini. Kenapa diam saja?"
Natha menggeleng pelan, "Memangnya apa yang bisa dilakukan anak seusiaku? Aku tidak punya kuasa sedikitpun, lagipula aku tidak berhak memisahkan papa dan kebahagiaannya. Aku sudah lama tidak melihat papa sebahagia itu. Walaupun berat, dia bisa saja akan menjadi ibu tiriku kelak, jika saat itu tiba maka hubunganku dengan Wen tidak akan pernah lebih dari teman, om. Kurasa aku harus mengubur dalam-dalam perasaanku padanya."
"Kamu benar-benar cinta sama Wen?" tanya pria itu lagi. Sesekali dia mengeratkan jaketnya dan menaruh tangan di saku celana, suhu malam ini begitu dingin sedingin sikap guru killer se-Tora raya.
Natha tersenyum, setiap membayangkan wajah manis dan tampan miliknya selalu berhasil membuat perasaannya jauh lebih tenang. "As far as i know, i do love him. I want him to know that i love him so much and i would help him go through all his problem."
"Will you say that to him?"
"I don't think so. Honestly, it depends on the situation. The things i fear the most is he will go far away from me after he know i have fall in love with him. To be honest, i think we will become stranger sooner or later."
"Why?"
"The secret i hide from him. After he know, he will hate me. I know him. He does not like people who keep secret from him."
Bumi Siwi menghela napas panjang, "Ya sudah, kamu pikirkan saja baik-baik. Ambil waktumu, Natha. Lakukan apa yang kamu mau lakukan. Sedikit lagi kamu akan masuk ke kelas terakhir di SEMENAT. Habis itu kamu lanjut ke Peringgi, kan?"
Lagi-lagi Natha menggeleng pelan, "Uang darimana, om? Buat biaya hidup saja sudah susah."
Pria itu mengusap wajahnya kasar, "Kamu kira papamu sebodoh itu? Dia sudah mutasi uangnya ke rekening om untuk jaga-jaga. Dia tidak sebodoh itu untuk tahu pikiran orang yang menjadi pasangannya selama beberapa puluh tahun terakhir. Dia hanya berusaha untuk menambah tabungan karena sebagian besar uangnya dibawa lari mamamu."
Natha terkejut mendengar ucapannya, dia tidak tahu jika Elano memikirkan jauh ke depan. "Papa tidak pernah bilang hal ini ke Natha, om."
"Tentu saja, dia tidak mau menambah beban pikiranmu. Nah, kamu punya dana buat lanjut ke Peringgi. Kalau kamu mau meringankan beban papamu, cari informasi tentang beassiwa dan ikuti itu. Belajar yang rajin, jangan galau mulu karena cinta. Ingat karir tidak akan pernah meninggalkan kamu."
Natha tersenyum, "Om benar. Kalau uangnya kurang, aku masih punya om buat bantuin, kan?" kelakar Natha lagi. Dia tahu Bumi Siwi akan selalu ada untuknya dan Elano. Dari dulu, selalu seperti ini, mereka akan saling membantu satu sama lain karena mereka saling membutuhkan.
Natha melupakan panggilan tidak terjawab dari Wen. Di sana, Wen sudah kalang kabut mengkhawatirkan kabar dari Natha. Natha dan Bumi Siwi berjalan menuju ke mobil yang diparkir cukup jauh dari tempat penyebrangan jalan.
Mereka tiba di depan rumah Natha cukup larut malam, Natha melambaikan tangan dan menatap kepergian omnya dari depan rumah. Dia tidak menyadari ada tatapan tajam yang tertuju padanya sedari tadi. Ada gejolak kesal darinya, sekaligus tanya tanya tentang orang yang mengantar Natha barusan. Namun, dia jauh lebih lega melihat Natha pulang dengan selamat. Setidaknya, dia bisa tidur dengan tenang malam ini.
-Bersambung-
Jumlah kata: 1188 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wish- TAMAT
RomanceWen Sidharta hanya ingin mati.Hidup pun percuma, tiap hari Ayahnya semakin tidak tahu diri menyakiti hati ibu. Dia tidak pernah melupakan cinta pertamanya, meninggalkan Wen dan ibu hidup berdua hingga tetangga barunya datang, Natha Maheswari. Berdua...