Langit semakin gelap, mata Natha mengikuti nyamuk yang berterbangan mengitarinya. Badannya semakin terasa gatal-gatal karena hal ini.
Kulit lehernya memerah, terdapat bentol-bentol yang muncul dari kulitnya. Semakin Natha menggaruk badannya kasar, maka semakin hebat rasa gatal yang dia rasakan.
Keningnya berkerut, merasa tidak senang dengan perasaan tidak nyaman ini.
"Ih! Ngeselin. Ini kulit gatal banget. Pengen aku cakar aja saking gatalnya," keluhnya lagi.
Natha menghabiskan waktu beberapa saat bergelud dengan kulitnya sendiri.
"Kalo ada papa pasti enak, bisa minta tolong bawain bedak tabur sama lotion biar rasa gatalnya berkurang," keluhnya lagi.
Natha menghela napas panjang, dia melirik ke kanan dan kiri karena akan menyebrangi zebra cross.
Baru satu dua langkah, Natha berhenti lalu melanjutkan langkahnya. Seakan-akan Natha lupa jika tempat penyebrangan ini mempunyai batas waktu.
"Ck! Ini kapan selesainya, sih?" gumamnya sambil menggaruk leher belakangnya.
Dia tidak menyadari kondisi tempat penyebrangan sedang ramai, begitu juga dengan kendaraan yang tengah menunggu pejalan kaki selesai sampai ditujuan.
Natha kembali melanjutkan langkahnya, sayangnya dia malah menabrak dua orang yang berjalan berlawanan arah dengannya.
"Duh!" pekik mereka bersamaan dengan bunyi lampu pejalan kaki akan berganti dengan lampu hijau, mempersilahkan pengendara motor dan mobil melaju.
Tangan pria itu segera menahan badannya supaya tidak jatuh ke aspal. Tangannya kekar, aroma parfumnya pun tercium. Entah kenapa, radar dan tingkat kesadaran Natha semakin bertambah, padahal sebelumnya Natha ingin mengkuliti dirinya sendiri saking tidak tahan dengan rasa gatal itu.
Sebelah tangan pria tampan ini masih setia di pundak Natha, hingga bunyi klakson menyadarkan jika mereka sudah seharusnya berada di trotoar kembali.
Menyadari hal ini, pria tadi menarik lengan Natha membawanya ke trotoar di tepi jalan.
Natha memgikutinya bak boneka. Kepalanya terasa berat, matanya mulai berair, nyeri perut yang ditahannya. Dia masih ingin menikmati waktu bersama dengan pria yang menariknya tadi. Dia tahu ini aneh, tapi untuk beberapa saat dia ingin menikmati keanehan ini.
"Kamu mau bunuh diri apa gimana? Jadi orang yang bener, dong!" pekiknya kesal.
Natha meliriknya dengan tatapan sendu, matanya mulai berkaca-kaca. Mendengar intonasi yang naik, membuatnya terkesiap. Entah kenapa, setiap kali dia mendengar orang yang marah dengannya, pasti akan menggetarkan hati dan membuatnya terjatuh dalam kesedihan.
"N-natha nggak bermaksud kayak gitu, Om," cicit Natha pelan. Wajahnya sudah pucat pasi, badannya terlihat gemetaran, Natha tidak berencana pergi hingga larut malam sehingga tidak mengenakan pakaian hangat untuk menjaga suhu badannya dari udara malam yang dingin.
Pria itu mengernyit heran, "Om? Tumben, biasanya juga panggil Pak. Kesambet apaan?" tanya pria itu heran.
Mendengar sindiran darinya membuat Natha memanyunkan bibirnya, dia benar-benar tidak dalam mood yang baik untuk menerima sindiran dari siapapun. Namun, Natha bukan siapa-siapa untuk mengatur sikap orang lain terhadapnya.
"Om, bisa nggak jangan ajak berantem dulu? Natha bener-bener menyesal, kok, Om. Natha lagi nggak fokus karena badan Natha gatal-gatal."
"Kamu nggak mandi? Dasar jorok," sindirnya lagi.
"Ih, Om! Natha bener-bener capek, tahu! Natha pengen pulang, Natha habis ketemu sama orang lain, jadi bukan karena Natha yang salah," ujar Natha mencari pembelaan.
"Oh, gitu? Kamu kira orang lain akan peduli dengan alasanmu? Kamu kira orang akan peduli dengan apa yang kamu lakukan? Kalau Om tidak tarik kamu tadi, kamu pikir apa yang akan terjadi sama kamu sekarang? Pikir dong, ingat masih ada papamu yang nungguin kamu pulang, Natha. Jangan jadi orang yang sembrono gini, dong. Lagi pula ya, kamu bukan siapa-siapa untuk mengatur seperti apa orang lain akan merespon, jadi sadar diri aja," ujarnya lagi.
Natha mengalihkan pandangannya ke orang di sebelah pria itu, dia mengenakan jaket berwarna putih, celana kain hitam dan sepatu yang mengkilap. Ada kamera yang dipegangnya di tangan kiri, hal yang Natha tidak suka adalah seringai senyum menyebalkan darinya. Namun, Natha hanya bisa memutar bola mata malas.
"Iya, deh, si paling tahu sedunia. Om malesin, tahu gitu biarin aja Natha ketabrak mobil. Natha, kan, nggak seharusnya lahir di dunia. Natha cuman jadi penghambat mama sama papa aja. Harusnya Papa tetap dengan keputusannya buat cerai dengan mama pas tahu mama selingkuh. Harusnya papa tidak mengorbankan perasaan dan hartanya hanya karena Natha masih kecil, seharusnya dia tidak mengorbankan hidupnya hanya untuk Natha merasakan keluarga yang utuh. Ini salah Natha, semua salah Natha," ujarnya sambil menarik rambutnya kasar.
"Ck! Dasar bocah ingusan. Udah, kamu bicara kayak gitu sambil narik rambut sampai rambutmu rontok semua juga nggak akan merubah situasi. Kamu tidak bisa kembali ke masa lalu dan ubah semuanya. Sadar diri aja, Natha," ujarnya mencoba menyadarkan pikiran Natha yang kalut.
Natha menatapnya dengan tatapan tajam, "Kalau mesin itu nyata, Natha akan lakuin apa aja untuk kembali ke masa lalu dan ubah masa depan, Om. Kalau Om tahu informasi terkait itu, Om bisa hubungi Natha. Biar Om juga nggak stress lihat tingkah Natha yang tidak normal ini."
Pria itu mendengkus kesal, "Terus, gimana dengan orang yang ada di masa depan? Kamu tinggalkan saja demi ambisimu itu? Kamu nggak mikirin papamu sama sekali?"
"Om, Natha pasti kembali ke masa ini lagi. Kalaupun tidak, setidaknya Natha akan pamitan dulu sebelum pergi karena bagi Natha, kebahagiaan papa yang pertama dan terutama."
"Terserah kamu. Sudah ayo pulang, om antar kamu sampai di rumah. Takut kamu malah kabur lagi, jangan bikin papamu khawatir. Dia sudah terlalu capek mencari cara untuk menghidupi hidup kalian berdua."
Natha tersenyum, dia tahu dibalik perkataan nyelekitnya sebenarnya dia adalah orang yang baik. Buktinya dia masih mau mengatarnya kembali ke rumah.
Pria itu menatap rekan yang datang bersamanya sejak tadi, "Bro, kita bahas tugas liputan berita tadi lain kali. Kalau mendesak, bisa pakai meeting online aja kayak biasanya. Sampai Nanti, bro!" ujarnya sambil menepuk pundak pria disampingnya.
"Tenang aja, hati-hati kalian berdua," pamitnya lalu pergi dari hadapan mereka. Sedari tadi dia menikmati pertunjukan berantem keponakan dan om itu. Mereka membahas hal yang dia ketahui keberadaan informasinya. Namun, dia akan melihat sejauh apa kegigihan anak keras kepala tadi.
Pria dengan bordir nama Dimitri ini berhenti melangkah dan menatap keponakan temannya sekali lagi dengan tatapan penuh kagum. "Kalau kamu masih keras kepala dan menganggap konsekuensi ganti nyawa itu tidak masalah mungkin aku bisa mempertimbangkanmu, bocah," tuturnya dengan seringai.
Di tempat lain, Natha dan pria yang memarahinya ini sudah berjalan berdampingan menyusuri jalan yang tidak pernah sepi. Kelap-kelip lampu mewarnai gelapnya malam. Menambah hingar bingar kehidupan malam.
"Natha, jangan bilang kayak tadi. Om tidak sanggup lihat Elano menangis karena kehilangan kamu. Dia berjuang mati-matian buat kamu," ujarnya lagi.
Natha tertegun selama beberapa saat sebelum tersenyum tipis, "Om, tolong bantu papa lagi, ya. Dia berhak bahagia dengan hidupnya. Kalau memang hal itu yang terjadi, Natha harap Om bisa bantu papa bangkit dari keterpurukannya."
Pria dengan bordir nama Bumi Siwi ini menghela napas panjang, tidak mengiyakan permintaan Natha. Memikirkan perkara masa depan tidak ada gunanya, tidak menambah sehasta umur dalam hidupnya.
-Bersambung-
1064 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wish- TAMAT
RomanceWen Sidharta hanya ingin mati.Hidup pun percuma, tiap hari Ayahnya semakin tidak tahu diri menyakiti hati ibu. Dia tidak pernah melupakan cinta pertamanya, meninggalkan Wen dan ibu hidup berdua hingga tetangga barunya datang, Natha Maheswari. Berdua...