Darah berdesir di sekujur tubuhnya, pria dengan tubuh tinggi besar itu mengepalkan tangannya kuat. Terlihat kerutan di dahinya dan wajah yang memerah entah karena panasnya menatari atau panasnya api amarah.
"Elano, Airine? Kalian masih saling mencintai rupanya," gumamnya pelan. Dia baru saja akan mampir ke rumah untuk mengambil persediaan baju, celana dan keperluan lainnya. Dia berencana jika bertemu dengan Airine, dia akan mengajaknya berbicara dari hati-hati, dengan sepenuh hati dan tidak mengutamakan ego serta rasa takutnya yang dia dahulukan selama ini. Namun, langkahnya terhenti seakan-akan ada tangan yang menahannya untuk berjalan ke rumah yang sertifikat kepemilikan masih atas namanya.
"Aku pikir hubungan ini masih bisa diselamatkan, aku kira dengan mengikuti saran dari Natha, aku bisa memperbaiki hubungan keluarga yang sudah lama renggang. Ternyata aku salah," gumamnya sambil tersenyum tipis.
Matanya berkaca-kaca, sekujur tubuhnya terasa lemas seakan-akan tidak bertulang. Perasaan sakit, kecewa dan perasaan aneh lainnya bercampur menjadi satu. Pria dengan name tag Dandy ini tetap berdiri tegap untuk beberapa saat sebelum kembali melanjutkan perjalanan ke rumah untuk mengambil sebagian besar barang yang dia butuhkan.
Menyusuri ruangan yang ada di dalam rumah besar ini, lalu langkah kakinya terhenti di depan pigura foto. Dandy tersenyum lalu mengusap foto itu pelan.
"Kamu masih tersenyum ceria di sini. Kamu masih berusaha untuk mengambil hatiku untukmu, masih ada Wen kecil yang menanti papanya pulang. Dia mencari segala cara untuk mengambil perhatianku, sayangnya aku begitu bodoh. Maafin papa, Wen. Papa tidak cepat berinisiatif untuk memelukmu dan memberikan kasih sayang yang kamu perlukan," tandasnya lalu kembali menyelesaikan urusan di rumah ini.
Dandy memegang formulir yang disimpan dengan baik dalam lemari brankas. Airine tidak memegang kunci dari lemari brankas ini. Hanya Dandy yang tahu dan sebenarnya dia sudah memberitahu Wen saat dia masih kecil dengan memberikan kunci lain. Kunci itu menjadi liontin di kalung yang sedang dia gunakan saat ini.
Dandy tersenyum, "Papa kira sudah saatnya kamu mendapatkan apa yang seharusnya kamu dapatkan, Nak. Papa sudah gagal menyelamatkan keluarga kecil papa, sayang," gumamnya lagi. Dia melihat lama ke arah formulir dengan judul formulir permohonan itu.
Dandy menghela napas panjang lalu segera pergi dari rumah ini. Bertolak ke kantor Badan Pertanahan Nasional. Hari ini tidak begitu banyak orang yang berada di sana, dia segera mengikuti prosedur yang harus dia lakukan hingga bertemu dengan pegawai dari tempat ini.
Pria dengan kemeja berwarna biru dongker berdiri. Ada raut kaget terlihat darinya. Namun, dia segera menguasai dirinya dan mempersilahkan Dandy untuk duduk di kursi yang ada di hadapannya.
"Selamat siang, Pak. Silahkan duduk," ujarnya dengan ramah.
Dandy mengangguk kikuk lalu duduk dengan badan tegap.
"Perkenalkan saya Bumi, dengan siapa saya berbicara?""Dandy."
"Baik, Pak Dandy. Ada yang bisa kami bantu?"
Dandy larut dalam lamunan begitu mendengar nama Bumi. Untuk beberapa saat dia teringat kenangan bersama Elano, Clairine dan Bumi. Dulu mereka adalah teman akrab, bahkan banyak orang mengira mereka adalah saudara kandung saking dekatnya. Sayang, semua sirna berganti dengan kepahitan dan kesunyian karena kesalahpahaman yang berlanjut tanpa akhir.
"Pak?" tanya Bumi lagi.
"Ah, iya. Maaf. Saya ingin balik nama sertifikat tanah. Awalnya ini atas nama saya, tapi saya mau balik nama ke anak saya. Persyaratannya apa saja ya?" tanya Dandy mengonfirmasi kembali persyaratan yang sebenarnya dia sudah ketahui, tapi dia ingin memastikannya sekali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wish- TAMAT
RomansWen Sidharta hanya ingin mati.Hidup pun percuma, tiap hari Ayahnya semakin tidak tahu diri menyakiti hati ibu. Dia tidak pernah melupakan cinta pertamanya, meninggalkan Wen dan ibu hidup berdua hingga tetangga barunya datang, Natha Maheswari. Berdua...