25 | Tuhan pasti tahu yang terbaik untuk aku dan kamu

12 1 0
                                    

Tiga puluh menit yang lalu

Wen menatap ke arah lampu merah lalu menghela napas panjang.

"Kebiasaan, deh. Jangan ngelamun mulu. Masih pagi ini," keluh Amerta kesal.

Amerta tidak suka jika orang di dekatnya mengeluh, karena energi negatif dari orang tadi akan dia rasakan.

"Dih, apa sih?" omel Wen. Dia tidak merasa ada yang salah dengan dirinya.

"Dasar tukang ngeluh. Oh iya, badan apa kabar? Jangan buat orang panik, dong. Lagi asik-asik ngobrol bertiga malah ditinggal pingsan. Nggak lucu," omelnya lagi.

"Dikira aku mau pingsan? Badan emang lagi nggak enak, sih. Merosot bener, deh, kesehatan ini. Malesin."

"Kamu masih rutin minum obat?" tanya Amerta penasaran.

Wen menatap Amerta dengan tatapam kosong. "Sampai kapan? Buat apa? Pada akhirnya aku tetap akan pergi, kan? Aku capek minum obat. Biarkan saja."

Amerta menggeleng heran. "Kamu menyadari kondisimu lagi drop dan kamu tetap melakukan kegiatan sehari-hari? Situ ada otak?" tanya Amerta sarkas.

"Ada. Udah, deh. Males bahas ginian. Dari aku siuman sampai kamu anter juga masih aja kena omelan."

"Heh, untung mamaku dokter bisa tolongin kamu. Disaranin ke rumah sakit aja susahnya bukan main. Maumu apa, sih?"

Wen mengedikkan bahu heran. "Bahagia dengan keluarga utuh mungkin?"

Amerta melirik ke arah Wen dengan ragu, dia tahu permintaan ini sulit untuk diwujudkan.

"Kamu sakit apa, sih? Kok misterius gitu nggak mau ngasih tahu?" tanya Amerta penasaran. Wen menutup rapat perihal riwayat penyakitnya, dia seperti tidak ingin seorang pun tahu tentang dia dan penyakitnya.

"Hmm? Kenapa memang? Kan, nggak ngerugiin siapa-siapa juga, kan?" tanya balik Wen. Dia terlihat tidak suka dengan pertanyaan Amerta kali ini. Seakan-akan dia tidak ingin orang lain tahu titik lemahnya.

"Ya nggak juga, sih. Cuman kalau ada apa-apa sama kamu, kita juga yang repot, kan?"

Wen tersenyum tipis, "Cukup bawa aku ke Instalasi Gawat Darurat kalau ada apa-apa. Kalau kamu rasa ini terlalu berat, kamu bisa tinggalkan saja aku tergeletak tidak sadarkan diri di sana. Tidak masalah, Amerta."

Amerta mendelik kesal ke arahnya, "Kamu kira aku sesadis itu buat ninggalin teman yang butuh pertolongan? Udah, ah. Malesin banget jadi orang, kita ganti topik aja bahas Natha."

Wen terkekeh pelan, "Ya udah, silahkan."

"Oh iya. Soal pacaran pura-pura ini, aku rasa kamu sudah punya jawabam. Jujurlah sama perasaanmu, kalau suka akuilah suka. Jangan sampai kamu menyesal karena terlalu mendenial perasaanmu itu."

Wen mengerutkan keningnya. "Loh? Kenapa?"

"Kamu jangan mendalami peran tokoh amnesia gini , dong. Kamu nggak lihat kemarin Natha kelihatan nggak rela kamu pergi sams aku. Masa gitu aja susah disadari, sih?"

"Hmm. Kamu salah kali, kita tetap berteman tahu."

"Terserah. Ingat ucapanku, jangan menyesal di akhir. Oke?"

Wen mengangguk paham. Mobil Amerta melaju kencang membelah jalan raya yang masih sempit.

Mereka asik memgobrol hingga tidak menyadari ada mata yang menangisi kenyataan pahit.

Wen menatap Natha dengan ekspresi bingung. Mobil biru tosca sudah melaju kencang meninggalkan kedua insan ini. Perasaannya semakin gusar ketika mendapati matanya yang berkaca-kaca, hidungnya memerah, dia terlihat tidak sehat.

My Wish- TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang