43 - Keputusan

119 19 1
                                    

BYEFRIEND BY HAZNA NUR AZIZAH

Instagram : @hsnrzz_ & @hf.creations

****

Status Saya

ada aja yang ada-ada aja

Pilihan baru muncul setelah keputusan dijatuhkan. Sagara kembali meragu. Menunggu hari esok untuk pindah ke Jogja, atau menetap di rumah Karina lebih lama. Menghilang dari radar Jaya adalah sebuah keharusan, tapi terlalu berat bagi Sagara untuk meninggalkan tempat yang penuh kenangan bersama Syahnaz dan Salma. Semua opsi memiliki alasan. Semua opsi memiliki konsekuensi.

Sagara melangkah mundur, tidak ingin menginterupsi Syahnaz dan Yona. Dia kembali ke ruangan yang akan digunakannya, berjengit kaget saat menemukan Karina sedang mengganti seprai di sana.

"Seprainya warna pink, nggak papa, ya, Nak?" Karina tertawa kecil ketika Sagara masuk.

"Ibu nggak perlu repot-repot, biar saya—" Sagara hendak mengambil alih pekerjaan Karina, tapi wanita itu tidak membiarkannya.

"Udah nggak papa. Nggak ada yang repot kalau buat kamu. Seprai yang tadi belum dicuci, nanti kulit kamu gatal-gatal lagi."

Sagara bingung harus bereaksi seperti apa.

"Seprai pink kayaknya kurang cocok sama kamu yang keren begini, ya, Nak? Mau Ibu gantikan lagi? Tapi, kayaknya nggak ada yang lain. Kebanyakan seprai yang ada warnanya pink sama kuning, yang paling mending biru, itu pun gambar Doraemon." Karina menghembuskan napasnya panjang, kelelahan setelah banyak bicara. "Si Yona emang suka aneh, sukanya karakter-karakter kartun gitu. Kayak bocah. Dan dua saudaranya sama-sama bodoh amatan orangnya. Nurut aja kalau Yona memilihkan sesuatu yang kelihatan kiyowok untuk mereka."

Seperti ibu kebanyakan, Karina heboh sekali ketika menceritakan anak-anak kesayangannya. Mau tak mau Sagara tertawa. Sama seperti yang ia duga sebelumnya, Yona dan kedua saudaranya memiliki sifat mudah bergaul yang menurun dari ibunya.

"Kamu suka kartun?" tanya Karina sambil melipat seprai lama yang mengeluarkan aroma apak.

Sagara mengangguk meski ragu.

"Baguslah. Koleksi DVD kartun Yona banyak itu. Sesekali nonton, lah biar nggak gabutan." Karina tertawa. "Sagara satu organisasi sama Yona, Kan?" tanyanya mengganti topik.

"Iya, Bu. Kami rekanan di OSIS," jawab Sagara. Mendadak perutnya mulas, takut ditanya macam-macam.

"Dia suka nyusahin kamu, nggak? Maksud Ibu, si Yona itu kadang ajaib kelakuannya. Takutnya kalau di sekolah, bukannya membantu malah menyusahkan," ujar Karina, hafal betul tabiat anak tengahnya.

Iya. Menyusahkan perasaan saya. Sadar suara hatinya tidak pantas, Sagara segera menggelengkan kepala. "Sama sekali tidak, Bu. Yona banyak membantu saya di OSIS, dia juga membantu saya di luar OSIS."

Alih-alih senyum bangga, Karina malah mencebikkan bibirnya. "Jangan melebih-lebihkan, kamu. Jujur saja sama Ibu, biar Ibu jewer kupingnya." Wanita itu tidak percaya.

Mendengar itu, Sagara tertawa. Yang dikatakannya barusan sama sekali tidak berlebihan. Meski Sagara sempat menganggap Yona merepotkan karena waktu itu Yona merecoki urusan pribadinya dan terus memintanya untuk membantu cewek itu balikan, kini, pandangan Sagara terhadap Yona sudah tak lagi sama.

"Saya nggak suka bohong, Bu. Yona memang benar-benar banyak membantu saya. Terima kasih."

Rasa haru merekah. "Ngapain berterima kasih? Ibu jadi mau nangis, nih." Sebuah tepukan mendarat di bahu lebar Sagara. "Jangan sungkan kalau mau negur Yona, ya. Kalau dia salah, dikasih tau. Meski itu tugas Ibu sebagai orangtuanya, sebagian besar waktu Yona dihabiskan di sekolah. Ibu benar-benar senang kalau pendapatmu tentang Yona itu bisa dibenarkan," sambung Karina. Senyumnya kembali mengembang.

"Jangan sungkan hubungi Ibu kalau Sagara butuh bantuan. Selamat beristirahat." Karina keluar dari kamar Sagara, meninggalkan remaja laki-laki yang akrab dengan luka dan kesepian itu, bersama hati yang tiba-tiba saja menghangat.

Keiyona beruntung memiliki keluarga utuh dan bahagia. Sagara tersenyum kecil, duduk di tepi kasur sambil berpikir. Bagaimana caranya keluar dari rumah Jaya, tapi tidak meninggalkan tanah kelahiran Salma dan tidak merepotkan Karina?

"Sagara, belum tidur?"

Jam sepuluh malam, beberapa menit setelah Karina keluar dari kamar Sagara, Syahnaz masuk dengan wajah kantuk.

Sagara menyilakan Syahnaz duduk. "Belum. Kak Syahnaz kenapa belum tidur juga?"

"Kepikiran sesuatu." Syahnaz duduk di kursi yang terletak di sudut ruangan. "Kamu sendiri kenapa?"

"Kepikiran sesuatu juga."

"Bisa samaan gitu ya." Syahnaz terkekeh pelan, sesaat, sebelum rautnya kembali berubah kusut. "Kita bisa tetap di sini, nggak, sih?"

"Maksudnya?" Kerutan terbentuk di dahi Sagara.

"Ya ... di sini, keluar dari rumah Om Jaya, tapi nggak ninggalin kenangan Ibu."

"Tapi nanti kita merepotkan Bu Karina."

"Enggak kalau kita bukan cuma numpang makan dan tidur."

Penjelasan singkat yang Syahnaz beri tidak langsung membuat Sagara paham.

"Aku nggak paham."

Gadis itu mendesah panjang. "Maksudku, kita ngekos."

"Biaya kos mahal, Kak. Tabunganku aja belum cukup." Itu juga yang menjadi alasan mengapa Sagara dan Syahnaz awalnya memutuskan untuk pergi ke Jogja.

Syahnaz berdiri untuk menghampiri Sagara. Kedua tangannya digunakan untuk menangkup wajah adiknya yang tegas. "Bukan di tempat lain, Dik, tapi di sini," ucapnya, menahan gemas.

Mata Sagara melebar. "Di sini?" tanyanya tidak percaya.

Syahnaz mengangguk pasti. "Tadi Yona yang nawarin. Dia bilang, 'aku dan Mama nggak keberatan kalian tinggal di sini, anggaplah ini bentuk terima kasih kami karena Sagara sudah menolong Kalingga, kalau Kakak dan Sagara merasa sungkan, jadikan rumahku kos-kosan', begitu." Gadis itu mengikuti ucapan Yona beberapa menit lalu.

"Keiyona bilang begitu?"

"Iya. Jadi, kita bisa ngekos di sini. Yona juga bilang kalau harganya bakal di bawah kos-kosan lain."

"Serius dia bilang begitu?"

Masih saja Sagara meragu.

"Buat apa Kakak bohong? Kamu setuju sama saran Yona?"

"Kalau Kak Syahnaz setuju, aku juga nggak keberatan."

Syahnaz melompat kegirangan.

"Kalau gitu, kamu yang bilang sama Bu Karina, deh. Kakak belum bisa tidur kalau belum jelas begini." Didorongnya punggung Sagara keluar dari kamar.

"Ya udah sana ke kamar dulu. Nanti aku kasih tau kalau sudah deal."

Dengan senyum merekah—seperti menemukan harta karun saat terombang-ambing di lautan—Sagara melangkah ringan untuk menemui Karina yang masih terjaga di ruang keluarga. Ditandai dengan suara televisi yang masih terdengar. Karena malam sudah mulai larut, langkah Sagara jadi terdengar menggema.

"Belum tidur, Gar?"

Sagara nyaris melompat ke atas kursi ketika sesosok menyeramkan keluar dari kamar mandi.

"Si ... siapa?"

Sosok berwajah hitam itu terpingkal melihat Sagara yang ketakutan. "Gue Yona keleusss ...."

Sagara langsung mencelus lega mengetahui yang memanggilnya adalah Yona yang sedang memakai masker charcoal. Tangannya mengelus-elus dada.

"Bikin kaget aja," seru Sagara.

"BTW, lo mau ke mana? Ambil minum?"

"Enggak. Gue mau nemuin nyokap lo."

"Ngapain?" Alis Yona terangkat.

Lagi-lagi, Sagara membiarkan senyum kecil tercetak di bibirnya. Alih-alih menjawab, cowok itu justru melempar pertanyaan yang membuat Yona terdiam. "Lo beneran nggak keberatan kalau gue tinggal di sini, kan? Good night, Keiyona." Diacaknya puncak kepala Yona sampai masai. Kemudian Sagara berlalu setelah membuat Yona membeku.

BYEFRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang