bagian 1

1.1K 48 3
                                    


°°

Terang Dewangga, tahun ini genap usia dua puluh tujuh tahun. Anak tunggal dari keluarga terpandang di kotanya ini sudah berhasil memimpin salah satu perusahaan milik ayahnya.

Sosoknya dingin tak tersentuh. Bahkan, kepada kedua orang tuanya pun ia enggan untuk menyapa.

Jika dilihat secara fisik, Terang adalah definisi sempurna dari ciptaan tuhan. Wajah tampan dengan proporsi tubuh yang tinggi berhasil membuat wanita yang berpapasan dengannya akan berdecak kagum. Terang itu, sosok yang di segani oleh pembisnis kelas atas maupun pemula. Wajahnya terpampang di majalah bisnis ataupun majalah motivator. Tak jarang pula orang awam tau bahwa, ada pemuda sukses bernama Terang Dewangga.

°°

Kaki jenjangnya melangkah dengan tatapan yang begitu dingin. Mengabaikan para pegawainya yang menyapanya. Diikuti oleh lelaki dewasa lainnya yang membalas sapaan untuk bos nya. Sebut saja ia Julian, sekretaris sekaligus merangkap sebagai asisten pribadi Terang. Pria manis nan ramah yang sangat di sukai oleh nyonya besar alias mamanya pak Terang.

"Lo senyum dikit kek, kasian tuh karyawan-karyawan Lo pada unjuk gigi semua," omel Julian sesaat setelah sampai pada ruangan bos besar.

  Sementara Terang, hanya menghela nafas sembari memutar bola matanya Malas menanggapi sifat cerewet Julian.

Terang menatap awan yang terik dari balkon ruang kerjanya. Membiarkan Julian yang bekerja.
Ia menghela nafas pelan. Entah, sudah beberapa kali ia tak fokus dalam sehari ini.

"Woy pak Terang, lo Napa dah? Ini sudah selesai tinggal nunggu tanda tangan lo."

Mendengar suara cempreng Julian, membuat lamunannya terhenti dan kembali masuk untuk menandatangani dokumen yang ia setujui.

Matanya nampak fokus, membaca dokumen-dokumen penting itu. Setengah beberapa saat ia membanting bolpoinnya dan bersandar pada kursi kerjanya sembari memijit dahinya yang agak pusing itu.

"Yang nggak gue tandatanganin suruh mereka merevisi yang gue coret-coret."

Julian mengangguk. Dengan segera ia mengambil dokumen yang di maksud dan berjalan keluar dari sana.

Terang memasangkan kembali jas kerja yang sempat ia copot kemudian beranjak dari tempat kerjanya bersamaan dengan Julian yang telah selesai menjelaskan tentang titah dari bosnya untuk bawahannya.

"Mau kemana pak bos?"

"Makan, gue lapar."

"Pas banget. Gue lagi ngidam ichiban sushi."

"Gue pingin makan bakso."

"Hah? Seorang pak Terang makan bakso?"

Terang mendelik mendengar ucapan Julian.
"Itu makanan pokok gue lima tahun lalu," balasnya.

°°

"Asa pulang dulu ya Bu." Lelaki kecil itu menyalimi tangan wanita paruh baya.

"Hati-hati ya Sa, besok jangan libur."

Asa mengangguk, kemudian tungkainya membawanya pergi dari warung bakso dan mie ayam tempatnya kerja.

Namanya Bintang Angkasa, usianya empat belas tahun. Masih tergolong sangat muda untuk bekerja.
Ia tinggal di ibukota seorang diri. Tidak punya keluarga karena ia sebelumnya tinggal di panti asuhan.

Lelaki kecil itu sangat pintar karena diusianya yang sekarang, ia sudah menduduki kelas satu sma serta mendapatkan beasiswa penuh.

Sebenarnya ia tidak perlu repot-repot kerja karena sudah di sediakan asrama, makan pun di tanggung oleh sekolah. Tetapi, Asa harus tetap bekerja karena kebutuhan lain. Asrama,pun memberikan waktu bebas untuk penghuninya hingga jam sembilan malam.

Semesta AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang