1 : Alatha dan Hinaan

303 82 83
                                    

    Sendiri. Satu kata yang menggambarkanku kini. Sudah terbiasa, bahkan seperti hanyut ke dalamnya. Aku bagaikan ruangan yang tak bercahaya. Gelap. Suram. Tak berharapan.

    Aku tak tahu apa gunanya aku hidup. Aku tak tahu apa gunanya aku bertahan. Dan aku tak tahu... mengapa aku sebodoh dan selemah ini?

    Hahaha, gadis gila!!

    Dasar bodoh!!

    Pergi kau, sialan!

    Cacian. Makian. Sudah menjelma menjadi makanan sehari-hariku. Air mata adalah tumbal dari kejamnya dunia. Hatiku serasa mulai kebal menghadapi cercaan yang tak berujung ini, tapi jika...

    Aku tak sudi punya anak sepertimu!!

    Jika orang tuaku saja tidak menginginkanku ada, apalah gunanya aku dilahirkan? Apakah hanya sebagai pajangan? Atau hanya sebagai bahan untuk pelampiasan amarah?

    Aku benar-benar sendiri. Bahkan bayangan yang sejatinya paling setia menemani, akan menghilang jika kegelapan sudah menghampiri. Dan kini aku berada di tengah-tengahnya. Berada di tengah kegelapan tanpa adanya seorang teman pun yang menemani.

    Sejak gadis itu ada, hidupku berubah 180 derajat. Aku menyesal pernah menganggapnya saudara. Aku menyesal karena aku tak mampu mencegah orang tuaku. Dan aku kesal karena orang tuaku tak dapat berlaku adil terhadapku.

    Sebentar...

    Orang tua?

    Pantaskah orang seperti mereka disebut orang tua? Kurasa tidak.

    Aku tak tahu sejak kapan perasaan ini muncul. Rasa benci dan kesal sudah bertumpuk kalut di dalam hidupku kepada mereka. Durhaka? Aku tidak mengerti apa itu durhaka yang sebenarnya.

    Aku tahu, seorang anak tak selayaknya membenci orang tuanya. Namun, jika keadilan, kasih sayang, perhatian, dan keceriaan tidak didapatkan oleh anak tersebut, apakah layak?

    Kurasa, hal seperti itu hanyalah ekspektasiku yang tak berujung. Sangat sulit untuk mengembalikan ke keadaan semula.

    Bukan keadilan yang kudapatkan, namun pilih kasih yang kuterima.

    Bukan kasih sayang yang mereka berikan, tapi cacian dan makian yang mereka lontarkan.

    Bukan perhatian yang mereka suguhkan, namun sikap dingin yang kudapatkan. Maka 'tak heran, jika rasa benciku kepada mereka sudah menyelimuti kalbuku. Seperti itukah durhaka?

    Akhhh...

    Aku merasakan nyeri yang sangat amat menyakitkan di dadaku. Aku meremas bagian dada atasku penuh penekanan. Wajahku merah. Kepalaku pusing. Pandanganku mengabur.

    T-tolongg...

    Percuma. Rintihanku bagaikan angin lalu. Tak dipedulikan.

    Dengan tenaga yang tersisa, aku merangkak menuju laci di nakas. Mengambil obat yang selama ini menyelamatkanku dari yang namanya kematian.

    Ya, itulah aku. Bodoh. Aku tak punya alasan lagi untuk hidup, tapi mengapa aku masih bertahan hidup? Padahal kesempatan maut sudah ada di depan mataku.

     Aku telan obat itu tanpa bantuan air sedikitpun. Lega rasanya. Aku merasakan obat itu mulai bekerja, dan sedikit demi sedikit aku mulai bernapas dengan lega.

    Kududukkan diriku di lantai. Kusandarkan badanku di badan ranjang.

    Semenyedihkan itukah hidupku?

Mencari CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang