Sepuluh menit mereka sudah berkumpul di tempat yang sudah diberitahu Zio tadi. Semuanya masih beradu pendapat masing-masing sambil memikirkan jalan keluar yang benar-benar bisa menyelamatkan Alatha.
Namun, sejak tadi, tak ada hasil apa pun yang diperoleh dari mereka berlima. Tidak ada informasi yang pasti untuk membawa mereka kepada Alatha. Mereka hanya mengantongi informasi kecil yaitu gulungan surat yang Galang temukan tadi.
"Kami udah nyebar ke semua bangunan kosong, tapi Alatha enggak ada disana," jelas Marley sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Iya. Bukannya ketemu Alatha, malah ketemu pocong. Mana mukanya serem lagi," sahut Leonard yang membuat Zio mengarahkan pandangannya.
"Hantu doang takut," ucap Zio sambil memasang muka juteknya.
Semua kembali terdiam. Mereka benar-benar bingung sekarang. Semua cara sudah mereka coba, tapi petunjuk keberadaan Alatha sekarang tak kunjung menampakkan dirinya.
Galang sudah berkali-kali menelepon Alatha, namun hasilnya nihil. Teleponnya tidak diangkat sama sekali. Ia juga sudah menyepam chat ke Alatha, namun hal itu juga tidak membuahkan hasil.
Setidaknya Alatha memberi tahu ia dimana sekarang, meski secara diam-diam. Dengan begitu Galang tak terlalu cemas dan dengan mudah menemukan keberadaan Alatha.
Namun sekarang, Alatha tak memberi tahu sedikit pun kabar dan petunjuk. Itu membuat Galang berpikir macam-macam tentang kondisinya. Jantungnya tak henti-henti berdebar kencang saking takutnya.
"Dibalas sama dia?" tanya Zio kepada Galang.
Galang menggeleng cepat. Air mata sudah menetes di ekor mata lelaki itu. Wajahnya sudah memerah menahan amarah sekaligus kecemasan. Ia tak mengalihkan pandangannya ke Zio sama sekali.
"Gua chat cuma ada centang dua abu-abu," ucap Galang setelahnya.
"Lo dimana, sih, Al... " lirih Galang sambil menahan tangis. Anak Acquilla baru kali ini melihat Galang menangis. Wajar, Galang sangat mencintai Alatha, sampai-sampai ia takut terjadi apa-apa dengannya.
Mereka semua juga memaklumi Galang. Jika mereka berada di posisi itu, mungkin saja mereka juga menangis tersedu-sedu.
Ferran menghela napasnya pelan ketika melihat Galang yang sudah menangis dengan wajah merah.
Ferran mengurut keningnya sembari berpikir. Ia yang bukan siapa-siapanya Alatha saja bingung sekaligus cemas, apalagi Galang yang sangat mencintai Alatha.
Ia memejamkan matanya, menarik semua cara agar masuk ke otaknya. Tiba-tiba sebuah ide melesat bebas dari benaknya. Ide itu belum ada mereka pakai dari tadi, dan mungkin tidak kepikiran sampai situ.
"Eh! Lo tadi enggak nemuin handphone Alatha di kamarnya, kan?" tanya Ferran tiba-tiba, membuat mereka semua menitik tujukan pandangannya kepada Ferran.
"Enggak." Galang menggeleng sambil mengusap air matanya.
"Ada dua kemungkinan keberadaan handphone Alatha. Pertama, bisa jadi handphone itu ada sama Alatha. Yang kedua, bisa jadi juga handphone itu ada sama si pelaku penculikan itu," ucap Ferran sambil menebak-nebak.
"Terus? Apa masalahnya?" tanya Marley seraya menaikkan sebelah alisnya.
"Kita bisa lacak keberadaan Alatha dari handphone-nya," jawab Ferran.
Sontak mereka semua mengerjapkan matanya. Mereka tidak sampai berpikiran ke situ.
"Wah, boleh juga, tuh," ucap Leonard.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Cahaya
Teen FictionAlatha, seorang gadis lusuh yang tidak mendapatkan keadilan dari orang tuanya. Tak hanya itu, ia juga dibenci oleh teman-temannya karena suatu hal yang pernah terjadi di masa lampau. "Kenapa gue begini!?" Keluhan selalu keluar dari mulutnya...