Galang duduk di pinggir kasurnya sambil mengacak-acak rambutnya sebal. "Argh!! Kenapa gue gak minta nomornya, sih?" ucapnya.
"Ishhh." Galang menidurkan dirinya di atas kasur empuk itu. Membentangkan kedua lengannya ke samping kanan dan kirinya.
Galang menghela napasnya panjang. Ia menatap langit-langit kamarnya sambil mendengar suara gemuruh petir yang menandakan hujan akan datang.
"Pokoknya gue harus minta nomornya besok," ucap Galang penuh keyakinan.
Ia masih dengan posisi rebahan di atas kasurnya. Rasanya ia sangat lelah hari ini, entah kenapa.
"Galang!!! Udah selesai belum?!" Terdengar suara mama Galang memanggil dari lantai bawah. Galang yang mendengarnya langsung bangkit.
"Belum, Ma!!" jawab Galang dengan teriakan juga. Dengan sigap Galang langsung mengambil handuk yang tergantung di dekat pintu dan langsung masuk ke kamar mandi yang berada di kamarnya.
***
Alatha baru saja selesai mandi. Ia menyisir rambutnya sambil menghadap ke arah cermin yang sudah tak beraturan bentuknya itu.
Di sela-sela ia menyisir, tiba-tiba terdengar suara ketukan dari arah pintu kamarnya.
"Non, ayo makan," panggil Bi Rini dari luar pintu. Alatha menoleh ke sumber suara. Ia menghentikan aktifitasnya dan menghela napasnya panjang.
"Iya, Bi," jawab Alatha pelan.
"Permisi, Non," ucap Bi Rini sembari meninggalkan pintu kamar Alatha. Setelah mendengar suara langkah kaki Bi Rini menghilang, Alatha mengarahkan pandangannya ke arah cermin yang hancur itu.
Alatha menatap wajahnya sendiri. Terpancar kesedihan dan keraguan dari dirinya. Ia sebenarnya tak mau makan bersama dengan kedua orang tuanya dan Dian. Bukan tak mau, hanya ia tak ingin hatinya semakin terluka.
Ia sebenarnya sangat ingin duduk bersama mereka bertiga. Tertawa dan berbagi cerita bersama. Namun saat ini sangat tak memungkinkan itu semua terjadi. Melihat Alatha saja enggan, apalagi duduk berdampingan dengan mereka?
Alatha bangkit dan berjalan keluar kamarnya. Menutup pintu kamarnya rapat-rapat dan mulai melangkahkan kakinya menyusuri anak tangga rumahnya satu-persatu.
Pandangannya menangkap tiga orang yang sedang duduk bertiga di meja makan. Tertawa ria tanpa adanya beban. Langkah Alatha terus mendekat ke arah mereka.
Alatha menggeser bangkunya, bermaksud untuk ia duduki tepat di samping Dian. Tiba-tiba senyap mengelilingi mereka. Tak seperti sebelum Alatha datang, mereka malah diam dan saling melempar tatapan tajam.
Karena mendapat sikap yang seperti itu, Alatha langsung mengalihkan pandangannya kepada mereka. Senyuman simpul terukir di bibirnya. Ia duduk dan langsung mengambil piring dan sendok untuk ia makan.
"Lain kali, kalau makan bareng itu setidaknya nyapa dulu, kek," cerocos Luna. Ia memutar bola matanya malas.
"Malam, Ma, Pa," ucap Alatha sambil tersenyum manis. Tangannya mengambil bakul yang berisi nasi. Namun, tiba-tiba tangannya ditepis keras oleh Luna.
"Eh, eh, enak aja. Dian dulu. Dia yang duluan disini, kok, malah kamu yang ngambil duluan." Luna langsung mengambil bakul nasi itu dan mulai menaruh beberapa centong nasi ke atas piring Dian.
"Udah, Sayang?" tanya Luna lembut. Senyuman indah terukir di bibirnya. Senyum yang penuh ketulusan. Senyum yang tak pernah Luna berikan kepada Alatha.
Melihat sikap sang ibu yang seperti itu, membuat mata Alatha mulai berkaca-kaca. Ia sangat senang jika ibunya tersenyum indah, ceria, dan hangat. Namun, alangkah sakitnya jika semua itu tak ditujukan untuk dirinya. Untuk anak kandungnya, yang lahir dari rahim ibunya sendiri.
Alatha menatap binar raut wajah ibunya. Tangannya mulai mengambil bakul yang berisi nasi tadi, menatapnya sendu.
Alatha tersenyum tipis dan mulai mengambil makanan itu.
'Dimana kasih sayang Mama untukku?' batinnya dalam hati.
***
'Gue cuma mau kasih sayang ... ' batin Alatha. Ia kini tengah duduk di balkon kamarnya bertemankan angin malam yang berhembus sedikit kencang.
Alatha menghela napasnya perlahan. Matanya menatap langit tak berbintang. Awan mendung dan kilat yang sesekali menyambar di sela-selanya menghiasi langit di malam ini. Jika disandingkan dengan suasana hati Alatha sekarang, cuaca malam ini sangat menggambarkan suasana hatinya.
Awan mendung, kilat yang menyambar namun tak bersuara, dan angin yang sedikit kencang, seperti yang Alatha rasakan kini. Ingin marah, namun tak bisa. Ingin mengungkapkan, namun tak di dengar. Hatinya serasa gaduh, bergelut dengan perasaan.
Angin malam meniup pelan surai hitam gadis itu. Alatha memejamkan matanya. Menghirup udara malam ini yang terasa sejuk.
Ia menunduk, memandang sebuah buku yang sudah penuh dengan bercak warna merah. Senyuman tipis terukir di bibirnya. Alatha mulai membuka lembar demi lembar buku tersebut. Membaca-baca isinya yang berupa serpihan luka.
Tangannya berhenti bergerak ketika membuka lembar buku yang lebih banyak bercak warna merah dan coretannya. Ia mengelus halaman buku itu, seringaian tak luput juga dari bibirnya.
"Kamu jadi saksi bisu apa yang aku rasakan." Alatha terkekeh pelan kala mengingat peristiwa yang ia alami dan ia rasakan ketika menulis untaian kata tersebut di halaman yang sekarang berada di hadapannya ini.
Peristiwa yang tak akan luput dari ingatannya. Peristiwa yang sangat berkesan di benaknya, walau itu adalah peristiwa yang membuat hatinya sakit. Alatha tak ingin melupakannya. Ia akan selalu mengingatnya, karena... karena tak ada lagi hal indah yang harus ia ingat. Seluruh alur kehidupannya seperti diselimuti oleh luka.
Ia ingin hidupnya dipenuhi dengan kebahagiaan, keceriaan, kasih sayang, dan segala sumber kebahagiaan lainnya. Satu hal yang sangat ia inginkan kini, yaitu pelukan seorang ibu. Seseorang yang seharusnya paling sayang terhadapnya, malah berbalik membencinya.
Sudah banyak usaha yang Alatha kerahkan untuk mendapatkan kasih sayang kedua orang tuanya. Namun nihil, mereka seakan buta dan tuli. Tak melihat sedikit pun daya dan upaya Alatha, darah dagingnya sendiri.
Alatha tertawa renyah kala mengingat sikap kedua orang tuanya terhadapnya. Seakan-akan, ia tak pernah ada dan tak pernah diinginkan. Kadang ia berpikir, kenapa Tuhan tega membuat hidupnya seperti ini? Kenapa Tuhan menuliskan alur yang sangat menyakitkan ini? Kenapa Tuhan menghadirkan pemain-pemain antagonis di dalam hidupnya?
Namun pertanyaan itu hanyalah sebuah pertanyaan tanpa jawaban. Bagaimana pun, Tuhan adalah penulis terbaik yang mampu membuat skenario yang tak pernah gagal.
Skenario apa selanjutnya yang Tuhan tuliskan untuknya? Kapan Tuhan memberikan secuil kebahagiaan untuknya? Entahlah. Alatha sudah bosan dengan kondisi ini. Rasanya, ia semakin rapuh layaknya kayu yang sudah digerogoti rayap.
Lembar demi lembar ia buka kembali. Semakin jauh membuka, semakin dalam luka yang dirasa. Buku itu seperti kehidupan Alatha. Kusam, lusuh, tak berbentuk.
Alatha menarik napasnya dalam dan menutup buku menyedihkan itu. Terlalu sakit rasanya jika mengingat kehidupannya kini.
Alatha sekarang hanya ingin sendiri. Menikmati malam dengan pilu di hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Cahaya
Teen FictionAlatha, seorang gadis lusuh yang tidak mendapatkan keadilan dari orang tuanya. Tak hanya itu, ia juga dibenci oleh teman-temannya karena suatu hal yang pernah terjadi di masa lampau. "Kenapa gue begini!?" Keluhan selalu keluar dari mulutnya...