Galang tengah duduk di WarTik bersama anak-anak Acquilla. Sudah kebiasaan mereka menongkrong di tempat ini sepulang sekolah.
Dari tadi, Galang hanya fokus dengan layar handphone-nya. Kadang tersenyum, kadang terkekeh sendiri, kadang cemberut sendiri. Hal itu membuat para anggota Acquilla memandangnya aneh.
Tidak seperti biasanya Galang seperti ini. Biasanya, Galang itu paling cuek dengan handphone. Namun sekarang, malah berbanding terbalik. Ia sekarang lebih dekat dengan benda pipih itu, dan parahnya, teman-temannya sampai dilupakan.
Namun, anak geng Acquilla memakluminya. Berdasarkan penuturan Zio, Galang sedang jatuh cinta kepada seorang wanita di SMA Wijaya. Mereka sedikit syok mendengarnya. Kenapa mereka semua tak diberi tahu oleh Galang? Kenapa hanya Zio saja?
Ya, karena Galang tahu, jika ia memberi tahu kepada semua anak geng, dalam waktu sekejap berita itu pasti akan tersebar. Makanya ia hanya curhat kepada Zio, karena hanya Zio lah yang menurut Galang orang paling amanah sedunia.
Lalu kenapa Zio memberi tahu anak geng? Sudah pasti itu atas izin dari Galang. Ia sudah mengantongi izin itu sejak tadi, ketika Galang terlihat sibuk dengan handphone-nya.
Galang menyuruh Zio menjelaskan semuanya secara rinci kepada anak geng, agar tak ada yang salah paham dan tiada dusta di antara mereka semua.
Kini, Galang sedang ber-chat-an dengan seorang perempuan. Siapa lagi kalau tidak Alatha? Perempuan itu sudah membuka blokirnya dan itulah yang membuat Galang tak ingin melewatkan momen ini.
Ia terus ber-chat-an tentang hari ini. Seperti tadi di taman, Galang mendapatkan porsi cerita yang paling banyak. Sedangkan Alatha, ia masih saja kebanyakan diam. Mungkin memang benar, Alatha susah bergaul dengan laki-laki. Buktinya sudah kelihatan sejak tadi.
Ketika Alatha berkenalan dengan Dinda, ia langsung dekat dan akrab. Namun, ketika Alatha berbicara dengan Galang, ia malah menjadi pendiam. Namun hal itu tak membuat Galang kehabisan pikir. Ia terus memikirkan berbagai cara untuk bisa menaklukkan hati sang cinta.
Misi pertama sudah selesai, kini Galang harus mempersiapkan misi selanjutnya. Ia ingin mendapatkan hati seorang Alatha. Galang mau Alatha menerima cintanya dengan tulus tanpa adanya unsur paksaan.
Mungkin misi ini akan lebih sulit dibanding misi pertama tadi, yaitu meminta maaf kepada Alatha. Tapi Galang yakin, pasti dirinya bisa melakukan itu. Ia tak ingin banyak berpikir negatif atau overthinking dahulu. Sebelum ia mencobanya, tidak ada yang tidak mungkin.
Pertama-tama, Galang akan mengubah sikap Alatha kepadanya. Ia tak ingin terus-terusan kebagian jatah cerita yang paling banyak, sedangkan Alatha sedikit. Ia tak ingin selalu mati topik ketika berbicara dengan Alatha. Sifat dingin Alatha ingin ia buang jauh-jauh, dan mendatangkan sebuah sifat yang penuh keceriaan.
Mereka masih melanjutkan chat-an. Setelah meminta maaf, rasanya separuh beban Galang hilang begitu saja. Dengan cepatnya ia bisa membuat Alatha jujur. Dari sana ia tahu alasan Alatha menyuruhnya untuk menjauh.
Di samping itu pula, Galang juga tahu sifat dari Alatha. Alatha itu adalah orang yang cepat dalam mengambil keputusan. Ia tak segan-segan mengambil keputusan itu tanpa memikirkan akhirnya. Dan setelah sampai di akhirnya, Alatha merasa bersalah dan menyesali keputusannya kemarin.
Tapi hal tadi tak membuat Galang marah. Ia tahu kondisi Alatha sekarang. Ia paham betul dengan segala luka yang Alatha rasakan. Dengan itu, Galang bisa mengambil paham dan bersikap dewasa. Toh, dengan marah pun ia tak mendapatkan keuntungan apa-apa. Bukannya berbaikan dengan Alatha, malah hubungan mereka semakin renggang nantinya.
Maka dari itu, ia selalu berpikir dahulu sebelum berbicara. Ia lebih memilih berbicara dengan kepala dingin. Karena dengan itu, segala masalah akan terasa ringan dan mudah mendapatkan jalan keluarnya. Tidak dengan marah-marah.
Dan dari sharing-nya tadi di sekolah dengan Alatha, Galang sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini berputar di kepalanya. Salah satunya tentang Alatha yang mendapatkan nomor Galang.
Galang iseng bertanya kepada Alatha tentang itu. Dengan entengnya Alatha menjawab bahwa ia mendapatkan nomor Galang dari Dinda. Katanya, ia mendapatkan nomor itu ketika pertama kali bersahabat dengan Dinda.
Galang sempat terkejut karenanya. Bagaimana bisa Dinda memiliki nomor Galang? Sedangkan Galang saja tak pernah tahu Dinda itu siapa? Namun, ia cepat-cepat membuang pertanyaan-pertanyaan itu. Ia hanya ingin fokus bicara berdua bersama Alatha.
Senyuman terukir ketika Galang mengingat sikap Alatha tadi.
'Kakak mau rotinya?' Itulah ucapan Alatha tadi. Ia hendak memakan sebuah roti, namun sebelum itu ia menawarkan Galang terlebih dahulu.
Karena menurut Galang ini adalah waktu yang tepat, akhirnya ia berniat menjahili Alatha. 'Enggak mau, bekas mulut lo. Pasti bau.' Begitulah jawaban Galang sambil terkekeh.
Jawaban Galang mampu membuat Alatha menekuk wajahnya. Jujur, Galang sangat suka dengan wajah Alatha ketika cemberut. Imut sekali dimatanya. Ingin rasanya ia mencubit pipi Alatha kuat-kuat sampai sang empunya menangis.
'Enggak, ya.' Alatha memanyunkan bibirnya dan menarik lagi tangannya dari wajah Galang.
'Ah, suapin, lah.' Seperti niatnya tadi, Galang ingin menjahili perempuan yang ia suka ini.
Ia pikir Alatha tak akan menuruti kata-katanya. Ia hanya ingin melihat wajah Alatha cemberut. Namun tak disangka, Alatha malah menyuapi Galang beneran.
Sontak Galang terkejut dan langsung mengunyah roti yang disuap oleh Alatha. Perempuan itu tersenyum sambil berkata, 'Enak, kan, Kak?'
Sungguh, hari ini adalah hari yang paling membahagiakan di hati Galang. Ia bisa dekat dengan orang yang ia cintai, walaupun masih berstatus kakak dan adik kelas.
Benar suasana hari ini. Suasananya menggambarkan hati Galang saat ini. Cerah, hangat, penuh kebahagiaan. Senyuman tak luntur-luntur dari bibirnya, menunjukkan betapa senangnya Galang hari ini.
Galang ingin hari ini, esok, dan seterusnya, ia selalu begini. Bukan dirinya saja, namun juga Alatha. Galang ingin keceriaan selalu menyelimuti mereka berdua tanpa adanya 'dingin' di antara mereka. Percakapan jadi sangat terbatas jika hal itu ada. Semoga saja keinginannya tercapai, dan akan selamanya begitu.
Galang menatap langit sore. Ya, masih tetap indah walau mentari sudah ingin terbenam. Cahaya oranye yang menyinari, mampu membuat siapa pun takjub melihatnya. Pemandangan senja saat ini sangat indah.
Mata Galang terpejam sambil memikirkan hal yang membuat dirinya bahagia. Alatha, ia sekali lagi tersenyum karena gadis itu. Andai saja ia bisa menikmati senja hari ini berduaan bersama Alatha, pasti indah.
Ia yakin, ia pasti bakal tidur nyenyak setelah itu, atau malah tidak tidur karena hal itu terlalu indah untuk dibawa tidur. Namun ini masih hanya sebuah bayangan. Ia sangat berharap bahwa suatu hari nanti, ia akan bisa melakukan itu bersama dengan Alatha. Berdua saja.
***
"Udah dibilang, usaha gak akan mengkhianati hasil. Jika hasilnya berkhianat, khianati balik, lah. Ya kali dibiarin. Gak gue banget!"
– Galang
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Cahaya
Teen FictionAlatha, seorang gadis lusuh yang tidak mendapatkan keadilan dari orang tuanya. Tak hanya itu, ia juga dibenci oleh teman-temannya karena suatu hal yang pernah terjadi di masa lampau. "Kenapa gue begini!?" Keluhan selalu keluar dari mulutnya...