13:21 WIB
Langkah Alatha berderap menuju kelas XI Ipa 1. Ia segera duduk di bangkunya dan langsung mengeluarkan buku tulisnya. Jam kelas ketiga sudah masuk, namun Alatha permisi keluar sebentar untuk membersihkan dirinya.
Tangannya perlahan membuka buku tulisnya. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati bukunya sudah dicoret-coret dengan tinta merah dan hitam. Coretan-coretan tersebut berisi cacian dan makian yang berbentuk tulisan yang tak beraturan. Ada juga gambar hidung babi dan gambar yang tak layak untuk dilihat.
Namun, Alatha mencoba bersikap biasa saja. Wajahnya semakin datar. Ia sudah biasa diperlakukan seperti ini oleh orang-orang yang tak memiliki rasa bersalah sedikit pun.
Alatha melirik ke arah depan. Pandangannya menangkap sosok Rebecca yang sedang meliriknya juga ke arah belakang. Ia menunjukkan tatapan kemenangan dan seringaian di bibirnya.
Tebakan Alatha tepat. Ia sudah tahu bahwa ini adalah ulah dari perempuan yang tak bermoral itu. Dengan cepat tangannya menyobek kertas yang berisi coretan itu, meremasnya dengan kuat lalu dilemparkannya ke luar jendela yang berada di sampingnya.
Sekali lagi, Alatha melirik ke arah Rebecca. Perempuan itu sekarang sedang terkekeh-kekeh bersama sahabat sebangkunya, Rissa. Dengan gampangnya ia tersenyum di balik penderitaan orang tanpa merasa bersalah sedikit pun atas apa yang ia perbuat. Mungkin Rebecca adalah salah satu jelmaan setan yang berwujud manusia.
Alatha menarik napasnya dalam-dalam. Ia harus pintar-pintar mengontrol dirinya untuk tidak emosi. Ia harus tenang. Ia bukan takut untuk melawan, namun tubuhnya saja yang lemah untuk melakukan itu. Jika emosinya memuncak, bisa saja penyakit yang ada di dalam dirinya kambuh. Dan Alatha tak ingin hal itu terjadi ketika ia sedang marah di depan orang lain.
Napasnya ia hembuskan perlahan dan teratur. Ketenangan kini sudah ia dapatkan. Alatha mengarahkan pandangannya kepada guru yang sedang menjelaskan di depan.
Tetapi, pikirannya seakan tak bisa fokus dengan pelajaran itu. Bukan karena pelajarannya yang tak ia mengerti, namun karena ada yang mengganjal di hatinya. Ia sendiri pun tak tahu apa yang sedang ia pikirkan, tapi ia seperti merasa bersalah. Seperti ada yang kurang. Pikirannya tak bisa lega.
Alatha kembali memokuskan diri kepada penjelasan yang diterangkan oleh guru di depan. Sesekali ia memijit kepalanya mencoba memikirkan hal yang sedari tadi mengganjal di hati dan benaknya.
Tetap saja, ia tidak fokus. Akhirnya ia lebih memilih melupakan hal itu sejenak dan kembali belajar seperti biasanya.
Pena yang berada di ujung jarinya mulai menari di atas buku tulisnya. Mencatat hal-hal yang menurutnya perlu dicatat dari materi yang dijelaskan guru ini.
Untuk saat ini, ia melupakan hal yang mengganjal tadi. Akan ia pikirkan lagi setelah ia selesai belajar.
***
Kini Alatha duduk sendiri di teras kelas XI Ipa 1 dengan sebuah buku berada di tangannya. Netranya mengabsen tiap baris buku itu, tak melewatkan satu baris sedikit pun.
Seperti biasa, ia sendirian. Semua murid berada di kantin saat ini. Ini sudah waktunya istirahat kedua, namun Alatha tak berniat untuk turut mengerumuni tempat itu. Ia lebih baik sendirian, menghindari riuh-ricuh yang kadang membuatnya tak nyaman. Dan memang, ia sudah biasa sendiri.
Alatha terlihat fokus menatap buku yang ada di hadapannya ini. Sampai-sampai ia tak menyadari bahwa ada seseorang yang sedari tadi melihatnya di balik sembunyi.
"Hai." Alatha sedikit tersentak ketika mendapati sebuah sapaan dan tepukan di pundaknya. Siapa orang ini?
Alatha langsung menolehkan pandangannya ke arah tepukan itu berasal. Pandangannya menangkap sesosok perempuan dengan rambut hitam sebahu. Ia melemparkan senyuman yang terlihat manis dan tulus kepada Alatha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Cahaya
Teen FictionAlatha, seorang gadis lusuh yang tidak mendapatkan keadilan dari orang tuanya. Tak hanya itu, ia juga dibenci oleh teman-temannya karena suatu hal yang pernah terjadi di masa lampau. "Kenapa gue begini!?" Keluhan selalu keluar dari mulutnya...