Alatha kini sudah berdiri menunggu di tempat motor Galang terparkir.
"Gue duluan, Lang. Jangan lo apa-apain dia," pamit Zio yang sudah mengeluarkan motornya dari arah parkiran. "Lo tenang aja, dia baik kok. Kalo dia macem-macem, bilang sama gue. Biar gue jitak kepalanya," lanjut Zio kepada Alatha. Alatha membalas dengan anggukan.
Galang yang mendengar ucapan Zio pun langsung menoleh sambil terkekeh pelan. "Aman," ucapnya. Zio mengangguk dan langsung menarik gas motornya. Melaju meninggalkan Galang dan Alatha berdua.
Galang memutarkan motornya dan berhenti tepat di depan Alatha.
"Naik," suruh Galang singkat.
Namun, Alatha tidak langsung bergerak naik. Ia sedikit takut, karena ia belum pernah sekali pun berboncengan dengan cowok. "B-beneran, nih, Kak? G-gue naik angkot aja enggak apa-apa," ucap Alatha sambil menggenggam erat tali tas ranselnya.
"Jam segini angkot udah gak ada yang lewat. Udah cepat naik. Atau mau gue naikin?" balas Galang.
Alatha langsung menggeleng, walaupun ia tak mengerti apa maksudnya. Ia segera naik ke jok belakang motor Galang.
"Udah?" tanya Galang sambil memiringkan kepalanya. Melirik ke arah Alatha yang duduk di belakangnya.
"Udah, Kak," jawab Alatha dengan suara pelan.
"Pegangan, ntar jatuh," suruh Galang lagi kepada Alatha.
Dengan cepat Alatha memegang besi belakang motor Galang sebagai pegangannya. "Udah," ucap Alatha.
Mendengar jawaban dari Alatha, Galang langsung menoleh ke belakang, karena ia tak merasakan sentuhan tangan Alatha di perutnya. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati Alatha yang sedang berpegangan dengan besi belakang motor.
Galang tertawa terbahak-bahak. Ia memegang perutnya karena terasa nyeri akibat tertawa. Sedangkan Alatha? Ia masih duduk dengan wajah cengo, bingung dengan tingkah Galang.
Setelah dirasa puas tertawa, Galang pun mengatur napasnya dan berbalik lagi menoleh ke arah Alatha yang masih diam di tempatnya.
"Haduh, polos banget, sih, lo? Pegangannya, tuh, disini," ucap Galang sambil mengambil tangan Alatha. Ia arahkan kedua tangan Alatha ke perutnya dan di tumpuknya kedua tangan itu di depan perutnya.
Galang tersenyum. "Nah, gini," ucap Galang. Alatha tak berkutik sedari tadi. Apakah ini yang dinamakan pegangan di atas motor? Bukannya ini namanya pelukan? Begitulah kira-kira pertanyaan yang terbesit di benak Alatha.
Alatha membiarkan tangannya berada di depan perut Galang, namun tubuhnya lebih mundur ke arah belakang jok motor. Ia duduk sampai ke besi belakang motor. Galang menoleh lagi ke arah belakang. Dan setelahnya ia tertawa lagi karena tingkah Alatha.
"Lo ngapain kayak gitu, Al? Kayak bebek tau, gak? Hahaha," sembur Galang sambil tertawa terbahak-bahak. "Maju lagi sini, jangan kayak gitu. Ntar lo jatuh," lanjut Galang sambil meredam tawanya agar tidak meledak.
"Kalo majuan lagi, i-itu namanya bukan pegangan, Kak," ujar Alatha sedikit gugup sambil menunduk.
Galang menaikkan alisnya satu. "Lah, jadi apa?" tanya Galang.
"I-itu namanya pelukan," jawab Alatha.
Jawaban Alatha itu pun mengundang tawa Galang lagi. Sudah ketiga kalinya ia tertawa karena kepolosan Alatha yang sangat terlampau polos dalam masalah begini.
"Ya ampun, Al, Al. Udah, Al, capek gue. Capek ketawa, haduh," ucap Galang sambil mengatur napasnya. Ia sudah tak sanggup berbicara saking lelahnya tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Cahaya
Ficção AdolescenteAlatha, seorang gadis lusuh yang tidak mendapatkan keadilan dari orang tuanya. Tak hanya itu, ia juga dibenci oleh teman-temannya karena suatu hal yang pernah terjadi di masa lampau. "Kenapa gue begini!?" Keluhan selalu keluar dari mulutnya...