32: Pencarian

7 2 0
                                    

    Motor Galang dan Zio sudah berada di depan gerbang sebuah bangunan yang berdasarkan ciri-cirinya adalah rumah Alatha. Mereka sedikit enggan untuk masuk, karena pintu gerbangnya terbuka lebar.

    "Masuk aja, nih?" tanya Zio.

    "Ya udah, ayo. Masuk aja lah," jawab Galang.

    Mereka berdua langsung memasukkan motornya dan langsung memarkirnya dengan rapi. Rumah itu sangat gelap, hanya ada satu cahaya yang terpancar disana, yaitu dari kamar atas.

    Pandangan mereka langsung menyapu ke segala arah. Sepi sekali. Rumah ini seperti tak ada penghuninya. Galang melihat ke arah sebuah kamar yang masih hidup cahayanya. Ia memerhatikan sebuah kaca jendela yang sudah pecah dan terdapat serpihan-serpihan kacanya tepat di bawahnya.

    Dan yang mengejutkan lagi, pintu utama rumah itu terbuka lebar, sama dengan halnya pintu gerbang tadi. Galang dan Zio memberanikan diri melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arah pintu itu.

    Perlahan kaki mereka menapaki lantai rumah itu. Mereka masih harus berhati-hati jikalau si penjahat masih ada disana. Ketika setengah tubuh mereka sudah masuk, mata mereka langsung menangkap foto-foto serta pecahan kaca berserakan di lantai. Tak hanya itu, banyak juga kayu-kayu besar yang berserakan disana. Benar-benar aneh, rumah ini seakan-akan tak terurus sama sekali. Seperti rumah yang sudah ditinggalkan oleh pemiliknya setelah berpuluh-puluh tahun lamanya.

    Langkah mereka tak berhenti disitu, mereka terus melanjutkan perjalanannya menelusuri setiap sudut rumah Alatha. Di ruang tengah, mereka berdua berpencar. Zio ke arah belakang dan kamar-kamar di lantai bawah, sedangkan Galang mengecek lantai atas.

    Tangan Galang langsung meraih sebuah kayu yang ia dapat ketika berada di ruang tengah tadi. Ia mengambil itu hanya untuk berjaga-jaga jikalau si penjahat masih disana. Dan jika ia mendapat serangan darinya, Galang sudah tidak gelagapan mencari barang untuk dijadikan senjata.

    Galang mulai menapaki satu persatu anak tangga. Banyak air yang berceceran disana. Bukan hanya air, tetesan darah juga terlihat disana. Ini membuat Galang semakin khawatir. Ia takut darah itu berasal dari Alatha.

    Kini Galang sudah berada di kamar pertama. Ia segera membuka pintunya dan menghidupkan lampu kamar tersebut. Pandangannya menelusuri ke segala arah. Tak ada siapa pun disana. Semua barang tetap rapi di tempatnya.

    Ia melanjutkan langkahnya menuju kamar kedua. Dengan berhati-hati, ia membuka pintu kamar itu perlahan-lahan dan langsung menyodorkan kayu ke dalam kamar itu untuk berjaga-jaga. Tak ada juga siapa pun disini.

    Semua kamar ia periksa dan sampailah ia di kamar paling ujung. Kamar yang memiliki cahaya sendiri. Hanya pintu itu yang terbuka. Di depan pintu sudah banyak bercak darah menghiasi disana.

    Galang semakin berfirasat buruk tentang Alatha. Dengan cepat Galang masuk dan menyodorkan kayunya ke arah depan. Tak juga ada siapa pun disana.

    Pandangan Galang menyipit, menyorot ke seluruh sudut ruangan itu. Dari barang-barangnya, ia yakin pasti ini adalah kamar Alatha. Terlihat dari foto yang berada di bingkai dan tas ransel sekolah Alatha yang berada disana.

    Sesuatu menarik perhatian Galang. Ada sebuah batu besar disana yang di sekitarnya ada banyak bercak darah. Lebih banyak dari yang di luar tadi. Di sebelahnya juga ada pecahan-pecahan kaca yang sepertinya berasal dari sebuah vas bunga.

    Tapi batu tadi cukup menarik perhatian Galang. Ia mendekati batu itu dan mengambilnya dengan hati-hati. Ia tak ingin tangannya kotor karena darah. Bau amis sedikit tercium dari sana.

    Darah yang ada di batu itu sudah mengering, berarti kejadian ini sudah agak lama. Galang meninggalkan batu itu dan beralih menuju kamar mandi yang berada di kamar itu.

    Galang merasakan lantai kamar mandi itu masih sedikit basah. Ia juga mendekat ke arah wastafel dan cermin disitu. Permukaan cermin itu lembab. Namun, perhatiannya seketika terkunci di wastafelnya. Banyak bekas berwarna merah mengitari wastafel tersebut. Apakah itu darah?

    Galang memberanikan diri memegang bekas itu. Dan yah, bekas merah itu bisa di hapus dengan mudah. Itu hanyalah sebuah pewarna.

    Galang keluar dari kamar mandi itu dan mulai menelusuri isi kamar itu. Karena menurut Galang, tempat ini adalah tempat terakhir Alatha berada disini.

    Ia duduk di kasur Alatha sambil melihat-lihat nakas yang ada di sampingnya. Ia membuka-buka lacinya dan mengeluarkan semua kertas-kertas disana.

    Ada secarik kertas yang tergulung disana. Karena penasaran sekaligus mencari informasi, akhirnya Galang pun mengambil kertas yang berbeda sendiri bentuknya itu. Semua kertas terlipat rapi, sedangkan kertas ini sendiri yang tergulung.

    Galang membuka kertas itu. Betapa terkejutnya ia ketika melihat isinya.

    LO BAKAL MATI!

    Itulah tulisan yang berada di kertas itu. Galang membulatkan kedua matanya terkejut. Siapa yang mengirimi Alatha kertas ini? Kenapa Alatha tak pernah bercerita kepadanya?

    Galang langsung bangkit dan berniat menjumpai Zio yang berada di bawah. Namun, ketika ia hendak keluar, Zio sudah duluan masuk ke dalam kamar itu.

    Galang sedikit tersentak dengan kehadiran Zio yang tiba-tiba.

    "Ada enggak?" tanya Galang.

    Zio menjawab pertanyaan Galang dengan gelengan. "Lo juga enggak jumpa?" tanya Zio balik.

    "Enggak, tapi gue jumpa ini." Galang menyodorkan kertas yang berisi pesan menyeramkan tadi kepada Zio.

    Zio langsung mengambilnya dan membacanya. Ia juga tak kalah terkejut dengannya, terlihat dari raut wajah lelaki itu.

    "Alatha ada cerita soal ini ke elo?" tanya Zio.

    Galang membalasnya dengan gelengan.

    "Ck! Enggak beres beneran. Berarti dia diteror," ucap Zio sambil berdecak. Ia mengambil kesimpulan bahwa Alatha sudah diteror dari jauh-jauh hari, tapi ia menyimpan semua itu dari orang-orang.

    "Coba telpon Marley sama yang lain. Mereka dapat petunjuk, gak?" suruh Zio dengan kedua tangan berada di pinggangnya.

    Galang langsung menurut. Ia mengeluarkan handphone-nya dan langsung menelepon Marley. Telepon itu langsung tersambung dan menampilkan suara Marley.

    "Halo, Lang!" sapa Marley di seberang sana.

    "Ah, halo! Gimana? Ada petunjuk?" tanya Galang.

    "Enggak! Gue sama yang lain juga udah pencar ke semua bangunan kosong. Tapi enggak ada Alatha disana," jelas Marley dengan nada kecewa.

    Zio kecewa mendengar itu. Dengan cepat ia merebut handphone Galang dari genggamannya.

    "Suruh semuanya kumpul di simpang tiga Jalan Melati. Sekarang!" Zio mulai memberi komando. Ia langsung mematikan telepon itu dan memberinya lagi kepada Galang.

    "Ayo."

    "Ayo," balas Galang kemudian melangkah keluar dari kamar itu.

    Langkahnya beriringan dengan Zio yang mulai menuruni tangga. Dengan sedikit berlari, mereka mengambil motornya dan segera menyalakannya.

    Dengan hati-hati mereka menarik gas motornya dan keluar dari perkarangan rumah Alatha. Tak lupa, sebelum itu Galang menutup pintu gerbang rumah itu rapat-rapat.

    Setelah itu, mereka melaju kencang membelah jalan di malam ini.

Mencari CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang