11 : Puisi

102 50 16
                                    

    SMA Wijaya kini sudah sepi. Semua siswa sudah pulang dari tadi sejak bel pulang telah berbunyi. Seperti biasa, Alatha pulang yang paling akhir.

    Ia memakai tas ranselnya dan berjalan keluar dari kelas XI Ipa 1. Ia memandang sekitar. Memang sepi, sepertinya hanya ia sendiri disini siswa yang belum pulang.

    Terlihat ada beberapa motor di parkiran. Ada beberapa guru yang belum pulang, mungkin masih ada urusan yang belum selesai. Suara desiran pasir menghiasi sore ini. Pak Joni belum pulang, ia masih menyapu halaman-halaman sekolah.

    Alatha memandang jam tangannya. Jam menunjukkan pukul 17:03 WIB, sudah sore. Alatha segera berlari menuju gerbang sekolah, ia takut ia tak bisa pulang karena tak ada lagi angkutan umum yang lewat di jam seperti ini.

    Namun langkahnya terhenti ketika mendengar seseorang memanggil namanya. Ia menolehkan pandangannya dan menangkap sosok perempuan dengan beberapa lembar kertas di tangannya.

    Itu Bu Reya, guru bahasa Indonesia tadi. Alatha menghampiri Bu Reya dengan langkah perlahan.

    "Kenapa, Bu?" tanya Alatha.

    Bu Reya tak menjawab namun membalasnya dengan senyuman. Bu Reya menarik tangan Alatha menuju tempat duduk yang berada di depan kelas X Ips 2. Bu Reya segera duduk dan diikuti oleh Alatha yang juga duduk tepat di sampingnya.

    Alatha menunduk. Ia takut kalau ia telah berbuat kesalahan. Karena tidak biasanya ada seorang guru yang mau memanggilnya dan duduk bersamanya.

    "Tadi ibu udah baca puisi kamu," ujar Bu Reya.

    Alatha mengernyitkan dahinya. Lalu kenapa jika Bu Reya sudah membacanya? Apakah ada yang salah dari puisinya?

    "Puisi kamu indaahhh banget. Ibu bacanya sampai meneteskan air mata. Puisi itu seakan-akan nyata dan dapat dirasakan." Alatha terkejut mendengarnya. Baru kali ini ada orang yang mengapresiasinya.

    "Kamu, kok, bisa buat puisi yang seperti itu?" tanya Bu Reya.

    Alatha bingung mendengar pertanyaan Bu Reya. Ia tak tahu harus menjawab apa. Karena, ia menulis puisi tersebut dengan rasa sakit di hatinya. Tangannya seperti bergerak sendiri ketika menuliskan untaian luka-luka itu. Ia bahkan tak mengetahui tata cara menulis puisi itu bagaimana, walau pun tadi sudah dijelaskan oleh Bu Reya.

    "Al?" panggil Bu Reya, memecah lamunan Alatha. Alatha langsung menggeleng cepat, menyadarkan lamunannya.

    "Ah? S-saya enggak tau, Bu," ucap Alatha gugup. "Tangan saya rasanya menulis sendiri ketika menulis puisi itu," lanjutnya.

    Bu Reya terkekeh pelan. "Mana mungkin kayak gitu," ucap Bu Reya.

    "Apa yang kamu rasakan ketika menulis puisi itu?" tanya Bu Reya. Alatha sedikit tersentak ketika mendengar pertanyaan Bu Reya. Sekali lagi, ia bingung ingin menjawab apa.

    Pandangannya menunduk, memikirkan jawaban yang ingin ia berikan untuk pertanyaan Bu Reya. Tangan halusnya tiba-tiba merasakan sesuatu.

    Tangan Bu Reya mengelus tangan Alatha. "Ibu tau apa yang kamu rasakan," ucap Bu Lipa.

    Alatha segera menaikkan pandangannya, menatap Bu Reya tak percaya. Sedangkan Bu Reya membalasnya dengan senyuman.

    "Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita ke ibu." Alatha tak mengerti maksud Bu Reya. Bu Reya tahu apa tentangnya?

    "Tapi beneran, puisi kamu bagus, lho," ucap Bu Reya lagi.

    "Makasih, Bu," ucap Alatha singkat.

    "Iya, ibu mau puisi ini dipajang di mading sekolah. Biar teman-teman kamu pada tahu puisi buatan kamu itu bagus," ujar Bu Reya.

    "Jangan, Bu!" ucap Alatha tiba-tiba.

    Bu Lipa mengernyitkan dahinya. "Kenapa?" tanyanya.

    Alatha menggelengkan kepalanya. "Puisi saya enggak sebagus itu. Saya takut mereka risih dengan tulisan saya." Ucapan Alatha membuat Bu Reya tersenyum.

    "Kenapa kamu mikir gitu? Buktinya ibu enggak risih? Kalau puisi kamu enggak bagus, kamu gak ibu panggil kesini," ucap Bu Reya.

    Tak dapat dipungkiri, Alatha sangat senang ada orang yang mengapresiasi karyanya. Namun di samping itu, Alatha juga takut dan gelisah. Ia takut bahwa para murid tak suka dengan karyanya. Seperti yang kita ketahui, tak satu pun murid SMA Wijaya yang suka padanya.

    "Udah, gak usah takut. Percaya diri dulu, resikonya belakangan," ucap Bu Reya lagi sambil mengelus-elus tangan Alatha.

    Alatha mengangguk pasrah. Mungkin perkataan Bu Reya benar, ia tak mungkin begini terus dan minder dengan dirinya sendiri. Dan lagi, ia juga sudah tak ingin menjadi dirinya yang saat ini. Yang pendiam dan diselimuti luka-luka.

    Bu Reya mengeluarkan buku tulis Alatha dan menyobekkan bagian puisi tersebut. Sekarang puisi itu berada di selebaran kertas. Bu Reya juga mengeluarkan sebuah pin kecil dari tasnya.

    "Ini, kamu tempel di mading," ucap Bu Reya seraya menyodorkan kedua benda tersebut. Alatha menerima pemberian itu dan mengambilnya secara perlahan. Ia masih ragu dan takut untuk memajang karyanya yang tak seberapa ini.

    "T-tapi, Bu, saya–"

    "Udah, tempel aja," potong Bu Reya seraya melemparkan senyum manis ke Alatha. Alatha hanya mengangguk dan segera bangkit menuju mading sekolah. Mading itu berada tepat tak jauh dari mereka. Hanya dengan jarak beberapa meter saja, Alatha sudah sampai di depan mading itu.

    Alatha menatap Bu Reya yang masih duduk di tempatnya. Ia masih sangat ragu untuk melakukan itu. Namun Bu Reya meyakinkannya dengan senyuman dan anggukan di kepalanya.

    Helaan napas keluar dari hidung Alatha. Tangannya yang memegang kertas dan pin itu mulai naik. Ia menempelkan kertas itu dan menusuk pinnya ke mading.

    Alatha sedikit mundur dan memperhatikan karyanya terpajang disana. Ia mengelus lembar kertas yang berisikan puisi itu.

    'Mencari Cahaya'

    Judul besar puisi itu terlihat jelas disana dengan warna pena hitam yang sangat mencolok. Senyuman tipis terukir di bibirnya.

    Alatha mulai melangkahkan kakinya menemui Bu Reya yang masih duduk di tempatnya. Senyuman hangat menyambut kedatangannya. Ia sudah lama tak mendapatkan senyuman seperti itu dari orang-orang, apalagi orang tuanya. Dan sekarang, gurunya lah yang memberikan senyuman hangat itu.

    "Udah?" tanya Bu Reya.

    "Udah, Bu," jawab Alatha sambil manggut-manggut. Ia kembali duduk di samping Bu Reya.

    "Nah, kan, bagus. Puisi kamu pantas terpajang disitu," ucap Bu Reya.

    "Iya, Bu," balas Alatha.

    Ia bersikap biasa saja, walaupun ia tahu bahwa dirinya akan menjadi bahan bully-an lagi esok hari karena puisi itu. Mungkin saja.

    Bu Reya memegang kedua bahu Alatha, membuat Alatha menatap mata Bu Reya.

    "Inget kata ibu tadi, ya. Kalo ada apa-apa, cerita aja ke ibu," ucap Bu Reya sambil mengumbar senyum.

    Alatha mengangguk dan membalas senyuman Bu Reya. "Iya, Bu." Walaupun begitu, ia tetap tak ingin menceritakan semua kepedihan yang ia alami kepada siapapun, karena ia tak mau orang-orang menjadi kasihan kepadanya. Ia tak suka dikasihani.

    Cukup pena dan buku yang menjadi teman curhatnya dan menjadi pengobat luka di kala Alatha merasa sedih.

Mencari CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang