2 : Bisikan-Bisikan Tajam

172 79 80
                                    

    Alatha kini sudah berada di kantin. Ia sudah memesan pesanannya. Ia memilih meja di sudut kantin. Karena menurutnya itu adalah tempat ternyaman, walaupun ia selalu tak pernah nyaman sebagai dirinya. Semua orang selalu memandangnya aneh, seperti melihat orang yang baru saja melakukan kejahatan.

    Alatha sudah terlihat cukup suram di mata para murid. Padahal, ia tak pernah melakukan kesalahan sedikit pun. Entah apa yang membuatnya seperti itu, ia pun tak tahu.

    Bisikan-bisikan tajam mengenai dirinya sudah dia anggap sebagai angin lalu. Walaupun begitu, ia masih punya perasaan.

    Setelah menunggu beberapa lama, makanan yang Alatha pesan pun datang. "Ini, Neng, pesanannya," ucap Bi Murti lembut. Ia mengulas senyum sambil menyodorkan makanan dan minuman yang dipesan oleh Alatha tadi.

    Alatha membalas senyuman Bi Murti. "Makasih, ya, Bi," ucap Alatha tak kalah lembut.

    "Iya, sama-sama, Neng," balas Bi Murti dan segera meninggalkan Alatha. Karena masih banyak murid yang mengantri untuk membeli makanannya.

    Alatha mulai menyantap makanannya perlahan. Mengobati rasa lapar yang sedari tadi ia tahan.

    Seperti yang kalian ketahui, Alatha terlihat sangat suram di mata para murid. Sudah jelas, tak ada seorang pun yang mau berteman dengannya. Ia selalu sendiri, dimana pun dan kapan pun ia berada.

    Kadang ia berpikir, apakah ia akan mengakhiri hidupnya dengan kesendirian juga?

    Alatha tetap menyantap makanannya. Ditemani oleh ucapan, cacian, dan bisikan tajam yang disuguhkan kepadanya.

***

    "Eh, Bro. Lihat, tuh cewek sendirian mulu," ucap seorang lelaki yang sedang makan bersama empat temannya di kantin. Ia bernama Leonard, seorang lelaki tampan dengan badan yang atletis.

    "Ho'oh, kasihan banget. Padahal dia cantik," sahut Zio. Ia terus menyantap makanannya sambil melirik ke arah gadis penyendiri itu. Siapa lagi kalau bukan Alatha?

    "Iyah, Zi. Kenapa, ya, gak ada yang suka sama dia?" ucap teman mereka yang satunya.

    "Gimana enggak coba, Ran? Penampilannya buluk gitu. Siapa coba yang suka sama cewek penampilan kayak gitu?" cerocos Marley tanpa rasa berdosanya.

    "Heh, Ley. Mulut lo gak pernah dididik apa, ya? Ngomong seenaknya aja." Ferran menyahut dengan nada tajam. "Lain kali kalo ngomong, tuh, dijaga," lanjut Ferran menasihati Marley.

    "Iya, Ley. Kalo dia denger gimana? Apa gak sakit hati? Pikirin bro," sahut Leonard sambil menaruh telunjuknya di kepalanya, seperti menunjukkan letak otaknya.

    "Halah, mana ada sakit hati lagi. Lagian dia juga sering dikata-katain sama orang. Tapi dia diem aja, tuh," balas Marley membela dirinya sambil menyeruput segelas es teh manis.

    Zio yang berada di samping Marley pun menepuk pundaknya pelan. "Ley, lo tahu, kan, si Alatha itu cewek? Lo tahu, kan, mental cewek itu gak sekuat mental cowok? Seharusnya lo ngerti lah. Kalo yang lain ngata-ngatain dia, lo gak usah ikut-ikutan. Kasihan, Bro," ucap Zio panjang lebar.

    "Orang yang kuat terhadap cercaan orang lain, pasti mengalami sakit hati yang mendalam. Ia selalu menguatkan dirinya sendiri. Sampai hatinya terasa mati rasa dengan semua yang dialaminya," ucap Leonard. "Kalau lo gak suka sama dia, setidaknya jangat menambah sakit hatinya. Bisa aja cercaan-cercaan orang dijadikannya sebagai penguat dirinya," lanjutnya yang membuat semua teman-temannya melongo. Setelahnya mereka bertepuk tangan bersamaan dengan tawa ria mereka.

    "Hahaha, sejak kapan lo pinter ngomong gini, Lele? Bangga gue jadi temen lo," ucap Ferran sambil menepuk-nepuk bahu Leonard.

    "Wahh mantep lo, belajar kata-kata darimana lo?" tanya Zio dibarengi dengan tawa kerasnya.

Mencari CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang