17 : Teror

26 20 1
                                    

    Suasana rumah Alatha kini sepi. Perempuan itu tak tahu kemana semua orang di dalamnya. Langkahnya perlahan memasuki rumahnya.

    Ia melihat sekitar. Tak ada siapa pun disana. Sebenarnya Alatha tak mempedulikan hal itu, namun ia patut bertanya-tanya, kemana mereka semua? Ia mengernyitkan dahinya ketika melihat seseorang menghampirinya dengan senyuman.

    "Kemana semua orang, Bi?" tanya Alatha.

    Bi Rini tersenyum seraya mengelap meja. "Tuan sama Nyonya pergi, Non. Katanya mau jalan-jalan," jawab Bi Rini.

    Alatha menaikkan sebelah alisnya. "Jalan-jalan kemana?" tanya Alatha lagi.

    Bi Rini menggelengkan kepalanya. Kedua bahunya terangkat menandakan ia tidak tahu. "Bibi enggak tau, Nyonya enggak ada kasih tau, Non," jawab Bi Rini.

    "Oh, ya udah, Bi. Al ke atas dulu, ya," ucap Alatha.

    "Ah, iya, Non," sahut Bi Rini, masih dengan aktivitas mengelapnya.

    Alatha mulai menuntun kakinya melangkah di anak tangga. Ia menggelengkan kepalanya kala mengingat orang tuanya ini. Alatha, sebagai anak kandungnya seperti tak dianggap ada. Pergi saja ia tak tahu.

    Senyuman pahit tergambar di bibir Alatha. Kalau diingat-ingat, ia terakhir kali jalan-jalan dengan kedua orang tuanya sudah 7 tahun lalu. Kala itu, Alatha masih sangat ceria, sebelum hal yang mengambil senyumnya terjadi.

    Peristiwa dahulu membawa dirinya menjadi seperti ini. Kebencian orang tua dan teman. Padahal, itu peristiwa yang dilatarbelakangi salah paham, namun sampai sekarang kesalahpahaman itu tak menjadi benar. Tetap menjadi salah, bahkan mungkin tak akan pernah benar.

    Alatha ingin mengambil kembali senyumnya yang hilang, namun tak tahu caranya bagaimana. Untuk saat ini, hal itu terasa berat untuk dilakukan. Apalagi lingkungannya yang tak mendukungnya untuk tersenyum.

    Alatha menghela napasnya pelan. Ia membuka knop pintu kamarnya dan langsung masuk ke dalamnya.

    Seperti biasa, kamar Alatha selalu berserakan. Ia tak berniat untuk membersihkannya dan selalu menolak untuk dibersihkan oleh Bi Rini. Entah kenapa, Alatha lebih suka kamar yang seperti itu. Kacau dan berserakan, persis seperti hidupnya.

    Alatha menaruh tas dan sepatunya dan langsung menghadapkan dirinya di depan cermin. Ia pandang cermin itu sedikit lama, sesekali tersenyum tipis.

    Dirinya seperti tak pernah rapi. Selalu saja kacau, apalagi pulang sekolah. Namun hari ini sedikit berbeda, ia pulang dengan pakaian rapi.

    Hari ini Rebecca tak masuk sekolah, katanya ia pergi ke luar kota dalam beberapa hari. Alasannya, ia ingin berlibur bersama keluargamya, padahal hari libur masih lama lagi.

    Karena Rebecca tak masuk sekolah, maka tak ada lah orang yang mau mem-bully-nya. Rebecca adalah orang yang membawa orang-orang untuk mem-bully Alatha. Jadi ketika Rebecca tak ada, maka tak ada pula yang mem-bully Alatha.

    Setelah puas memandangi cermin itu, Alatha mengambrukkan dirinya ke kasur empuknya. Tangannya ia rentangkan bebas. Matanya menatap nanar langit-langit kamarnya.

    Alatha lelah. Lelah dengan isi hati yang kacau. Kadang ia ingin lari dari kenyataan, melupakan semuanya. Namun itu tak bisa dilakukannya. Kenyataan tetaplah kenyataan. Mau tidak mau, harus dilewati dengan lapang dada, walau jalan yang dilewati adalah jalan penuh duri tajam, yang mampu membuat orang yang melewatinya terluka berdarah-darah.

    PRANG!!!

    Alatha langsung membangkitkan dirinya ketika mendengar suara pecahan kaca itu. Suara itu berasal dari kaca jendela kamar Alatha.

    Betapa terkejutnya dia ketika mendapati bahwa benda yang sudah menghantam kaca jendelanya adalah sebuah batu. Namun, ada sebuah kertas yang terikat di batu tersebut dengan benang.

    Alatha tak mengambil batu itu. Ia malah berjalan mendekati pecahan kaca tersebut dengan kaki telanjang dan segera mengintip keluar. Sepi. Tak ada siapa pun orang di luar sana.

    Alatha kembali mendekat ke arah batu itu. Ia sedikit berjongkok, hendak mengambil batu itu yang tepat berada di dekat tempat tidurnya.

    TOK TOK TOK!!!

    "Non." Suara panggilan itu mampu menghentikan pergerakan Alatha. Ia bingung. Dengan cepat Alatha menggeser batu itu ke bawah tempat tidurnya dan segera bangkit.

    "Iya, Bi?" tanya Alatha. Ia segera mendekati pintu kamarnya dan langsung membukanya. Terlihat lah seorang perempuan paruh baya dengan wajah khawatir.

    "Tadi Bibi dengar suara kaca pecah, ada apa, Non?" tanya Bi Rini.

    "Ah, enggak apa-apa. Cuma kaca jendelanya pecah. Al kekencengan tadi nutupnya," jawab Alatha sambil cengengesan. Ia berharap jawabannya mampu meyakinkan Bi Rini.

    "Beneran enggak ada apa-apa?" tanya Bi Rini lagi. Kini ia berusaha mengintip ke dalam kamar Alatha, namun Alatha berusaha pula menghalanginya.

    "Ah, enggak apa-apa, Bi," balas Alatha sambil tersenyum.

    Bi Rini menghela napasnya panjang. "Ya udah kalau gitu. Kalau ada apa-apa, panggil Bibi, ya," ucap Bi Rini yang dibalas anggukan oleh Alatha.

    Langkah Bi Rini perlahan-lahan menjauh. Alatha terus memandangi Bi Rini dari belakang sampai wanita itu sudah tak terlihat lagi dari pandangannya.

    Alatha kembali masuk ke dalam kamarnya dan menguncinya rapat-rapat. Ia segera berjongkok dan mengambil batu yang ia geser tadi ke bawah tempat tidurnya.

    Batu itu tak terlalu besar, namun berat juga jika diangkat. Maka pantaslah batu itu meninggalkan lubang yang lumayan besar di kaca jendelanya.

    Dengan rasa penasaran yang tinggi, akhirnya Alatha mulai membuka satu persatu benang yang mengikat kertas itu dengan batu. Kertas itu berwarna putih dan tergulung dengan rapi.

    Alatha sama sekali tak merasa takut dengan resiko yang akan ia terima nantinya. Bahkan ia sekarang tak peduli siapa yang mengiriminya batu tersebut sampai-sampai membuat kaca jendelanya pecah.

    Tangannya mulai membuka kertas itu secara perlahan.

    LO BAKAL MATI!!!

    Itulah tulisan yang ada di kertas itu. Jantung Alatha seketika berdegup kencang. Kali ini ia benar-benar takut. Seketika terlintas di pikirannya, siapa yang mengirimi ia surat seperti ini.

    Alatha langsung bangkit dan berjalan cepat ke arah jendela. Dan lagi, ia mengintip situasi di luar lewat jendela itu, tak ada siapa pun. Dengan cepat ia menutup kain jendelanya.

    Ia mengambil kembali kertas tersebut dan membacanya lagi. Kertas itu di tulis pakai tinta merah dan masih basah. Buktinya dapat di lihat dari tinta yang masih menetes dan belepotan di kertas itu.

    Tangan Alatha bergerak cepat mengoyak-ngoyak kertas itu. Ia melempar sobekan-sobekan itu ke lantai. Tangannya bergetar, takut sudah melandanya.

    Ia terduduk di kasurnya, memandang kertas-kertas yang sudah ia sobek tadi.

    "Arghh!!!" erang Alatha.

    Wajahnya kini memerah. Tangannya beralih menjambak dan mengacak-acak rambutnya dengan keras. Ia panik dan takut. Kini ia sudah benar-benar tidak aman.

    Siapa yang berani berbuat ini kepadanya?

Mencari CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang