9 : Rumahku, Nerakaku

87 36 7
                                    

    Kedua mata gadis itu menatap datar ke bangunan tempat ia bersekolah. Tempat yang menurutnya neraka kedua setelah rumahnya. Mungkin istilah 'Rumahku, Istanaku' berlaku bagi sebagian orang, namun tidak dengan Alatha. Justru sebaliknya, istilah yang cocok adalah 'Rumahku, Nerakaku'.

    Langkah kakinya mulai berderap memasuki gerbang sekolah. Ketika tubuhnya baru saja memasuki lapangan sekolah, puluhan pasang mata sudah menyambut kehadirannya. Entah apa yang ia perbuat, namun dirinya kini menjadi pusat perhatian para murid SMA Wijaya.

    Memang. Biasanya Alatha memang selalu menjadi pusat perhatian, bahkan menjadi pusat pem-bully-an. Namun tatapan mereka semua berbeda. Seperti ada sesuatu yang mengitari benak mereka. Tergambar jelas dari tatapan yang mereka suguhkan untuk menyambut kehadiran Alatha.

    Alatha menaikkan pandangannya. Ia menyapu pandangannya ke seluruh murid dengan wajah heran. 'Kenapa?' batinnya.

    Tak ingin berlama-lama berada di situasi seperti ini, Alatha pun mulai melangkahkan kakinya lebih cepat. Pandangannya kembali menunduk. Sesekali tangannya menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya.

    Langkahnya terhenti ketika ia sudah berada di anak tangga pertama. Sepasang kaki sudah berada di anak tangga yang ingin ia tapaki. Ia sudah mengetahui, bahkan sangat hapal kaki siapa ini.

    Alatha terpaku. Pandangannya tetap menuju ke arah kaki itu.

    "Haii, Alatha," sapa seorang perempuan yang berada di hadapan Alatha. Perempuan itu melambaikan tangannya sambil mengulum senyuman.

    Mendengar itu, Alatha menaikkan pandangannya. Tebakannya benar! Orang yang berada di depannya ini adalah Rebecca. Orang yang menguncinya kemarin sore.

    Alatha memasang wajah datar. Tatapannya menajam kala mengingat perbuatan manusia biadab ini kepada dirinya. Ia tak membalas sapaan perempuan itu.

    "Hey?" Rebecca terkekeh sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Alatha. "Wah, gak dijawab, nih, sapaan gue?" tanyanya.

    Dan lagi, Alatha masih diam tak bergeming. Tatapannya tetap menuju ke depan, menghadap perempuan itu.

    "Ah, yaudah enggak apa-apa," ucap Rebecca karena tak mendapat jawaban apa-apa dari lawan bicaranya.

    Suara kekehan kembali terdengar dari mulut Rebecca kala melihat wajah Alatha yang datar. Tak ada guratan senyum atau apa pun itu. Raut wajahnya seperti tak menunjukkan apa yang ia rasakan kini.

    "Aelah, kaku banget, tuh, muka. Masih pagi, lho," ucap Rebecca sambil melipat tangannya di dada. "Ayo sini, deh. Gue punya hadiah buat lo," lanjutnya. Tangannya bergerak memegang lengan Alatha, bermaksud untuk menariknya.

    Alatha tau, Rebecca pasti punya rencana jahat yang ditujukan kepadanya. Bukan memberikan hadiah, namun hal-hal lain yang akan mengundang resiko bagi diri Alatha.

    Alatha memundurkan badannya dan menjauhi tangannya dari Rebecca. Mendapat perlakuan itu, Rebecca mengulas senyum licik.

    "Kenapa? Ayo ikut gue. Gue mau kasih hadiah," ucap Rebecca. Tubuhnya kini bergerak sedikit maju untuk meraih tangan Alatha.

    Tubuh Alatha juga beriring mundur. Tak disangka, dengan cepat Rebecca menggapai tangan Alatha dan langsung menariknya pergi. "Ayo ikut gue. Tinggal ikut aja susah," ujar Rebecca dengan langkah yang cepat.

    Alatha yang ditarik pun tak mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya sangat lemah untuk menarik tangannya. Apalagi perutnya yang dari kemarin belum diberi asupan. Makan malam bersama dengan orang tuanya? Ah, ada hal yang membuat hatinya sakit. Ia lebih memilih pergi.

Mencari CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang