20 menit berlalu. Galang masih setia menunggu seseorang. Ia duduk di bangku teras kelasnya dengan pandangan yang tak bisa diam. Melihat ke kanan dan ke kiri, namun orang yang ditunggu tak kunjung menampakkan dirinya.
Galang saling menggenggam tangannya. Isi kepalanya sudah berisi tentang semua strategi untuk menjalankan misi kemarin, yaitu meminta maaf kepada Alatha.
Ia melihat ke jam tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul 06:51 WIB. Ya ... kali ini Galang berangkat terlampau pagi. Entah apa yang merasukinya. Mungkin terlalu bersemangat untuk menjalankan strateginya.
Lagi-lagi pandangannya ia edarkan ke seluruh sudut sekolah. Tetap saja, orang yang ditunggu belum juga datang.
Lelah menunggu, Galang menyenderkan badannya seraya menghelakan napasnya. Ia memandang langit pagi ini dari kelas atas. Terlihat cerah, sinarnya yang hangat telah masuk dari celah-celah pagar pembatas kelas atas.
Matahari sepertinya sedang bahagia sekarang, tanpa ragu-ragu memberikan sinar yang membangkitkan semangat dengan kehangatannya.
Galang menghirup udara pagi ini dalam-dalam. Terasa sejuk dan segar. Lalu ia menghembuskannya perlahan.
"Lang." Galang mendapatkan tepukan di bahunya. Sontak ia langsung melihat kepada orang yang melakukan itu kepadanya.
Dia Zio. Baru saja ia ingin masuk ke dalam kelas, namun pandangannya menangkap seorang Galang tengah duduk sendirian. Akhirnya ia berniat untuk menghampiri Galang terlebih dahulu.
"Tumben lo datang cepet," ucap Zio sambil mendudukkan dirinya di sebelah Galang.
Galang hanya terkekeh renyah. Tangannya ia lipat di dada. "Ada yang mau gue urus," ucap Galang.
Dahi Zio mengernyit. Urusan apa yang ingin dikerjakan seorang Galang?
"Heleh, kayak orang sibuk aja lo," cibir Zio sambil mendorong lengan tegap Galang.
"Hahaha, beneran gue ini. Ada misi yang harus dilaksanakan," ujar Galang dengan senyuman terukir di bibirnya.
"Emang misi apaan?" tanya Zio.
"Ada, deh. Kepo banget, Mak." Itulah jawaban Galang. Walau hanya begitu, jawaban Galang mampu membuat Zio kesal.
Galang suka sekali menganggu Zio. Ia tahu kalau Zio itu orangnya sensitif, gampang marah, padahal ia seorang cowok. Makanya, mereka menyebutnya dengan 'Emak Acquilla'. Dari sifatnya saja sudah seperti emak-emak, julukan itu sudah cocok dengannya.
Walaupun begitu, Zio tak menganggap itu hal yang serius. Ia membiarkan anggota gengnya memanggil dengan julukan itu. Ia tak keberatan. Ia tak mau karena hal yang kecil, geng yang ia dirikan hampir tiga tahun itu bubar.
Mereka sudah janji untuk tidak mengutamakan ego sendiri. Semua punya persepsi sendiri, jangan saling menyalahkan antara satu dengan yang lain. Jika punya pendapat yang berbeda, bicarakan baik-baik dan dengan kepala yang dingin. Disini, mereka mengutamakan solidaritas, bukan kepala panas, apalagi kepala keras.
"Serah lo, dah," ucap Zio pasrah. Jika Galang sudah tak ingin memberitahunya di awal, maka sudah sulit untuk mendapatkan sesuatu darinya, meskipun dengan cara memaksa.
Zio mengikuti arah pandang Galang. Galang lagi-lagi memandang langit yang cerah ini, rasanya tak bosan memandangnya.
Matahari yang cerah, awan yang berwarna putih, langit yang terlihat sangat biru, menggambarkan keceriaan. Semoga saja suasana pagi ini menggambarkan suasana hati Galang juga. Semoga misinya berjalan lancar hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Cahaya
Teen FictionAlatha, seorang gadis lusuh yang tidak mendapatkan keadilan dari orang tuanya. Tak hanya itu, ia juga dibenci oleh teman-temannya karena suatu hal yang pernah terjadi di masa lampau. "Kenapa gue begini!?" Keluhan selalu keluar dari mulutnya...