7 : Habis Gelap, Terbitlah Terang

95 38 6
                                    

    Alatha masuk ke dalam kamarnya. Ia membanting pintu yang membuat suara keras itu menggema di kamarnya. Ia melempar sepatu yang ia pegang tadi ke sembarang arah.

    "Aaarghhh!!!!" jerit Alatha sambil melempar tas ranselnya ke arah meja rias, lantas semua yang ada di atasnya seketika berserakan tak karuan. Ia remas sprei kasurnya, lalu ia lempar ke sembarang arah.

    Setelah dirasa puas membuat kerusakan, Alatha bersandar di belakang pintu kamarnya sambil meremas kuat surai-surai hitamnya. Air matanya sudah mengalir dengan deras, membasahi pipi putihnya.

    "Kenapa?" tanya Alatha pelan sambil menunduk dan masih menangis. "Kenapa?" tanyanya lagi diikuti oleh tubuhnya yang perlahan-lahan terduduk di lantai.

    "Kenapa gue harus begini?" tanya Alatha sambil menunduk. Remasan di rambutnya semakin kuat. Air matanya sudah terkuras habis.

    "Kenapa mereka enggak sayang sama gue? Kenapa?!" tanya Alatha dengan nada semakin meninggi.

    Ia ambil salah satu kosmetik yang jatuh di sampingnya. Alatha melihat ke arah cermin yang ada di hadapannya. Betapa menyedihkannya kondisinya saat ini.

    Alatha menggenggam kuat kosmetik yang kemasannya terbuat dari kaca tersebut. Ia semakin geram. Kuku-kukunya memutih saking kuatnya menggenggam barang itu.

    "Aaaaarghhh!!!" jerit Alatha. Dengan sekuat tenaga ia melempar kosmetik itu ke cermin yang ada di hadapannya. Cermin dan kemasan kaca kosmetik itu pecah, tak berbentuk lagi. Sudah jelas, suara pecahan tersebut terdengar nyaring ke seluruh penjuru rumah.

    Alatha tatap kepingan cermin yang masih ada di hadapannya itu. Napasnya memburu, seolah ia puas atas apa yang ia lakukan tadi.

    'Seperti itu hidupku sekarang. Pecah, tak berbentuk,' gumamnya sambil melagakan gigi-giginya.

    Alatha bangkit dan berjalan mendekati pecahan cermin dan kaca yang berada di lantai itu. Ia ambil pecahan cermin yang ujungnya runcing dan melihat wajahnya di cermin itu.

    "Gak ada yang sayang sama gue," ucap Alatha.

    "Gue gak ada tujuan untuk hidup," ucapnya lagi. Kepingan cermin itu sudah ia dekatkan ke pergelangan tangan kirinya.

    Cermin itu semakin dekat dan sudah menyentuh kulit putih Alatha. "Gue mau mati!!"

    "Non, non!!" Baru saja Alatha ingin menyayatkan kepingan tajam itu ke tangannya, terdengar suara seseorang dari luar kamar yang membuat pergerakan Alatha terhenti. Ia menoleh ke arah pintu kamarnya.

    "Non, buka pintunya, Non," ucap suara seorang wanita paruh baya di luar kamarnya. Itu Bi Rini, pembantu di rumah Alatha.

    Alatha memejamkan matanya, menghela napasnya panjang dan menjauhkan kepingan tersebut dari tangannya. Ia berjalan mendekati pintu kamarnya.

    Ia membuka pintunya dan pandangannya menangkap sesosok wanita paruh baya dengan tatapan cemasnya. "Kenapa, Bi?" tanya Alatha pelan.

    "Non enggak apa-apa, kan? Tadi bibi dengar suara kaca pecah dari kamar non," jawab Bi Rini sambil memegang lengan Alatha, sekaligus memeriksa bagian-bagian tubuh Alatha. Memastikan tak ada yang terluka sedikit pun.

    Alatha menggelengkan kepalanya dan mengukir senyum tipis di wajahnya. "Enggak apa-apa, Bi," ucap Alatha.

    "Huh, syukurlah," sahut Bi Rini sambil mengelus-elus dadanya lega. Ia tersenyum kepada Alatha.

    Tiba-tiba pandangan Bi Rini tertuju kepada benda yang dipegang oleh tangan Alatha. Itu sebuah kepingan cermin tadi.

    "Itu buat apa, Non?" tanya Bi Rini memasang wajah cemasnya lagi. "Non, jangan buat aneh-aneh, ah," lanjut Bi Rini.

Mencari CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang