A

123 5 0
                                    

Seminggu setelah kepergian neneknya, Itreula merasa rumah bukan lagi tempatnya berpulang. Karena satu-satunya orang yang selama ini menjadi alasannya bertahan, telah pergi. Ia menatap nanar bangunan bertingkat dua yang bergaya minimalis itu. Terselip sedikit rasa takut untuk melangkah masuk.

Sembari menerka keberadaan ayahnya saat ini, ia memaksa kakinya bergerak mendekati pintu cokelat yang tertutup rapat. Ia diam tepat di depan pintu berusaha menguasai rasa takut yang bergejolak di dalam dadanya.

Itreula menarik napas dalam, meyakinkan dirinya bahwa tidak ada hal buruk yang akan terjadi. Perlahan,tangannya terulur membuka pintu. Mulutnya langsung menganga lebar tidak percaya melihat pemandangan yang tersaji di depannya.

Banyak benda-benda yang berserakan, pecahan keramik vas bunga, dan ...

Itreula segera berlari mendekati kardus cokelat yang kosong itu. Di mana piala kebanggaannya? Matanya bergerak menjelajahi seisi ruang tengah hingga berhenti di satu titik. Ada sesuatu di balik tirai jendela.

Tubuhnya langsung meluruh di antara kepingan-kepingan piala tersebut. Tanpa bertanya pun, ia sudah tahu siapa yang tega melakukan ini.

Sambil menggigit bibir berusaha menahan isakan, Itreula mengumpulkan kepingan-kepingan tersebut hendak memasukkannya ke dalam kardus.

Namun, belum selesai membereskannya, seseorang menarik keras belakang telinganya yang langsung membuat ia memekik kesakitan.

"Sa-sakit ... Pa ...," lirih Itreula seraya memegang pergelangan tangan David.

Pria yang sudah berkepala empat itu melotot, sama sekali tidak peduli akan rintihan Itreula. Sebaliknya, dia semakin mengeratkan tarikan tersebut dan menjambak rambut anaknya menggunakan tangan kiri yang menganggur.

Sudah habis kesabarannya menghadapi Itreula. Menurutnya, anaknya itu sungguh kurang ajar. Bisa-bisanya Itreula pulang larut, padahal mereka masih dalam keadaan berduka.

"Dari mana kamu, Hah? Enggak bisa lihat sekarang jam berapa?!" bentak David tepat di telinga Itreula.

Dia menatap bengis Itreula dengan wajah yang merah padam. "Seenaknya keluar masuk rumah, terus pulang malam begini!"

Itreula hanya diam dan memejamkan mata, tidak berani merespons ayahnya. Hal itu berhasil menyentil emosi David.

"Jawab! Kamu enggak punya mulut, Hah? Buat apa punya mulut, tapi enggak dipakai?!" sentaknya kasar seraya mencengkeram rahang Itreula membuat tubuh itu bergetar hebat.

Itreula semakin mengeratkan pejaman matanya tidak berani melihat wajah David yang menyeramkan.

"Ma-maaf ... Pa ...," cicit Itreula pelan.

David mengeraskan rahang. Menatap wajah Itreula terlalu lama membuatnya teringat dengan istrinya yang telah tiada.

Pria berambut cokelat gelap itu menghela napas gusar, lalu mendorong tubuh mungil Itreula dengan kasar menjauh darinya. Sebelum menghilang di balik tembok pemisah antara ruang tengah dengan lorong menuju kamar, tak lupa dia menendang kardus yang berada di dekat mereka.

Merasa melupakan sesuatu yang penting, dia kembali. "Kalau besok kamu enggak ada di rumah jam lima sore, saya tidak akan segan untuk mengubur kamu hidup-hidup. Dasar anak sialan. Kerjaannya cuma buat susah aja."

Usai berucap sekasar itu, David langsung pergi meninggalkan Itreula yang kini terduduk di lantai. Ia menggigit bibir, mati-matian berusaha menahan rasa sakit hatinya. Ingin menangis kencang, tapi ia yakin David akan semakin murka jika mendengar tangisannya.

Dan ia juga teringat dengan nasihat Diva; untuk tidak menangis sebab nanti Cia akan ikut sedih dan marah kepada David. Maka dari itu, ia berusaha untuk tegar. Ia tidak mau ibunya membenci ayahnya sebagaimana ayahnya membenci dirinya.

Itreula [Open Preorder]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang