32

59.5K 3.2K 96
                                    

Gadis berambut cokelat itu melirik seseorang yang sedari tadi fokus menatap ponsel seseorang itu sebelum menghela napas panjang. Sejak seharian ini, seseorang itu lebih memilih menghabiskan waktu menatap benda pipih itu daripada berbicara dengannya.

Ingin bertanya, tapi takut dianggap terlalu ikut campur. Maka dari itu, dia memutuskan untuk bungkam dan berusaha sibuk sendiri.

"Dia ke mana, sih? Kemarin takut ditinggal, tapi sekarang malah chat dari gue dianggurin. Heran," sungut seseorang itu membuat gadis berambut cokelat itu menoleh.

Gadis berambut cokelat itu—Auristela—berdeham sebelum berucap, "Nungguin chat dari siapa, sih? Cewek baru di Jakarta?"

"Hah? Apanya cewek baru? Lo ngaco, ah."

"Kok ngaco? Gue kan cuma tanya, habisan seharian ini gue dianggurin, lo lebih milih natap layar."

Seclon mengernyit. Dia mengulurkan tangan untuk merangkum pipi gadis itu hingga kedua pasang mata mereka bertubrukan. Kekehan geli terlontar dari bibirnya ketika dia menemukan pancaran kecemburuan di mata gadis itu.

"Lo cemburu? Ya ampun, Steltel."

"Nah, sekarang lo yang ngaco. Ngapain gue cemburu? Lagian kenapa juga gue harus cemburu? Lo aneh, ah."

Seclon mencubit kedua pipi Auristela gemas sebelum berucap, "Lucu amat lo kalau cemburu. Cemburu, ya, bilang aja kali. Sok-sokan enggak cemburu, padahal hatinya meleduk."

"Apa, sih? Resek banget," sungut Auristela seraya menjauhkan tangan Seclon dari kedua pipinya itu. Setelah pipinya berhasil lepas dari jangkauan tangan laki-laki itu, dia lantas mengayunkan ayunan yang dia duduki agar laki-laki itu tidak bisa menangkap pipinya lagi.

"Gue nunggu balasan dari adik gue, bukan dari cewek baru yang lo maksud barusan. Jadi, lo jangan cemburu kali. Masa cemburu sama calon adik ipar sendiri?"

Kalimat terakhir yang diucapkan Seclon berhasil meronakan kedua pipi gadis itu. Menyadari kedua pipi gadis itu berubah warna, Seclon sontak tergelak. "Itu pipi kenapa kebakaran coba? Lo baper gue bilang adik gue itu calon adik ipar lo?"

"Sekali lagi lo godain gue, gue tinggal lo sendirian di sini," ujar Auristela kesal.

Seclon menggelengkan kepala berusaha menghentikan tawanya. Gadis di sebelahnya memang selalu berhasil memperbaiki suasana hatinya.

Sejujurnya, seharian ini dia sangat cemas karena dia tidak berhasil menghubungi adiknya. Dia juga sudah menghubungi keluarganya yang di Jakarta, tapi hasilnya sama. Tidak ada yang bisa dia hubungi.

Hal itu membuat dia khawatir. Dia takut ada sesuatu buruk yang menimpa adiknya, terlebih lagi pelaku aksi peneroran terhadap adiknya itu belum tertangkap. Pelaku itu masih berkeliaran bebas.

"Kenapa lo seniat itu buat nunggu balasan adik lo? Bisa aja dia sibuk, jadi dia enggak pegang hp, atau apa gitu. Santai aja kali."

"Perasaan gue enggak enak karena gue enggak bisa menghubungi semua keluarga gue yang ada di Jakarta, bukan cuma dia."

"..."

Seclon mengembuskan napas berat. "Gue sayang banget sama dia karena dia satu-satunya saudara yang gue punya. Selama ini, hidup dia lebih susah dari gue. Dia enggak pernah sebahagia gue, Stel.

Gue sempat merasakan kasih sayang dari mama dan papa, sedangkan dia enggak pernah. Dari dia lahir, yang dia dapatin itu siksaan dari papa, bukan kasih sayang. Di rumah dia cuma tinggal berdua sama papa, enggak ada yang bisa bantu dia. Gue di sini jauh banget."

"Sec."

"Walaupun memang dia penyebab mama pergi, gue tetap sayang sama dia. Bahkan kalau suatu saat salah satu dari kami harus ada yang mati, gue bakalan langsung nawarin diri."

Itreula [Open Preorder]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang