I

78 3 0
                                    

Itreula hanya sesekali membalas ucapan Giles, selebihnya ia hanya diam dengan raut wajahnya yang polos itu kebingungan. Ia menghentikan kayuhannya yang otomatis membuat Giles ikut berhenti.

Ia tersenyum samar melihat Giles yang melongo melihat rumahnya. Sepertinya, ia tahu pertanyaan apa yang akan dilontarkan Giles mengingat sifat laki-laki itu yang bawel dan penasaran setengah mampus.

"Itu rumah lo?" tanya Giles sama persis dengan dugaan Itreula sebelumnya.

Itreula hanya mengangguk pelan.

"Waw, rumah segede ini, tapi lo ke sekolah pakai sepeda? Kenapa enggak—"

Giles menutup mulutnya dengan telapak tangan. Kenapa, sih, dia tidak bisa mengerem mulutnya? Jika terus-terusan seperti ini, dia hanya akan membuat Itreula semakin tidak nyaman dengannya. Ini bahaya.

"Enggak perlu dijawab, hehe. Sana masuk istirahat," lanjut Giles begitu dapat mengendalikan sifat penasaran dirinya.

"Ok-oke. Se-sekali la-lagi, mak-makasih, ya," ujar Itreula.

Tanpa menunggu balasan Giles, Itreula melangkah masuk dan menutup pagar. Ia bersyukur Giles tidak bertanya lagi, meski ia tahu laki-laki itu sangat penasaran. Dari segala topik yang ada, ia selalu berusaha menghindar dari topik yang menyinggung keluarga.

Mungkin ia memang lahir di keluarga yang berkecukupan, tapi semua itu tidaklah penting. Karena yang ia inginkan adalah memiliki hubungan keluarga yang harmonis selayaknya keluarga lain.

Itreula tersenyum kecil ketika melihat angka yang ditunjuk jarum jam. Empat lewat sepuluh. Kali ini ia aman dari David. Sembari bersenandung kecil, ia bergerak mendekati pintu utama. Namun sayangnya, perasaan bahagia itu tidak bertahan lama. Ia langsung mendapat hadiah berupa jambakan setelah menutup pintu.

"Pa-Papa?" ujarnya penuh ketakutan.

"Dari mana saja kamu, huh? Sudah tahu kita mau ke rumah Kak Lerdo, kamu malah sengaja pulang lama. Kamu pasti sengaja, kan, biar saya dimarahi Kak Aldri dan dianggap tidak becus ngurus kamu?!" sentak David kasar, tak lupa dia mendorong kening Itreula.

Itreula menggigit bibir. Sungguh, ia tidak bermaksud melakukan itu. Ia ...

"Pa, Itre—"

"Apa? Kali ini kamu mau kasih alasan apa lagi, hah?"

Itreula menggeleng pelan, tidak berani kembali bersuara.

Jantung Itreula berdebar semakin kencang kala David mulai memelintir beberapa helai rambutnya. Bukan hanya itu, ayahnya juga mengikis jarak di antara mereka. "Kenapa jadi diam? Kamu takut?"

"..."

"Dasar anak bodoh," David menarik rambut Itreula yang sebelumnya dia pelintir, "Sekarang cepat mandi dan siap-siap. Awas aja kalau nanti pas mereka datang dan kamu belum siap, saya akan melakukan lebih dari ini."

Dengan takut, Itreula mengangguk. Hal itu membuat David tersenyum smirk dan melepaskan rambut Itreula. Sebelum membiarkan anaknya sungguh pergi dari hadapannya, dia menyempatkan diri untuk mengusap pelan puncak kepala Itreula serta berucap, "Anak pintar."

Itreula spontan berlari ke kamar untuk segera mandi sesuai perintah ayahnya. Sekitar 10 menit, Itreula sudah keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit tubuhnya. Ia berdiam diri cukup lama di depan lemari usangnya, bingung harus mengenakan pakaian seperti apa.

Namun karena mengingat ancaman David untuk tidak berlama-lama, Itreula sembarang mencomot. Ia mengambil hoodie berwarna khaki serta celana panjang gelap.

Ia rasa itu pakaian yang cocok untuk berkunjung ke rumah omnya, apalagi dalam keadaan sekarang—memar pada sikunya belum menghilang seutuhnya. Tepat ketika Itreula selesai mengenakan pakaian, pintunya terbuka lebar. Itreula mengerjap melihat ayahnya yang kini menatapnya tajam. Kali ini, kesalahan apa yang ia perbuat?

Itreula [Open Preorder]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang